Senin 06 May 2024 18:40 WIB

Polemik Hukum Islam Soal Musik dan Lagu Mencuat Lagi, Ini Respons Ketua MUI

Perdebatan soal hukum musik sudah mengarah ke saling ejek.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Musik (ilustrasi).
Foto: Pexels
Musik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sepekan terakhir polemik tentang hukum Islam terkait musik dan lagu kembali ramai di media sosial (medsos) di kalangan para penggiat kajian Islam. Polemik yang dipicu tentang penerjemahan surat Asy Syuara sebagai Surat Para Penyair yang diidentikan dengan para pemusik oleh salah seorang pendakwah yang populer, kemudian memicu kembali polemik dan perdebatan hukum musik menurut Islam. 

Nampak, dalam komen-komen di medsos itu telah berlebihan dan menjurus saling menjelekkan antar-kelompok yang pro dan kontra. Merespons hal tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam, KH Jeje Zaenudin memberi tanggapan.

Baca Juga

Kiai Jeje menjelaskan, sebenarnya polemik masalah hukum musik dan lagu, hanyalah mendaur ulang perdebatan masalah fikih klasik yang sudah ada berabad-abad lalu. 

"Sehingga menurut hemat saya meskipun ada manfaatnya, tetapi itu perdebatan yang tidak produktif dan tidak memberi solusi. Malah berdampak pro-kontra di kalangan masyarakat awam yang diikuti dengan saling mencela dan menghakimi antara yang pro dan kontra, sebagaimana bisa dibaca dalam komentar-komentar di medsos dari masing-masing pihak," kata Kiai Jeje kepada Republika, Senin (6/5/2024).

Kiai Jeje mengatakan, adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak jaman dulu itu menunjukkan bahwa masalah musik dan lagu tidak ada dalil yang qath'i dan sharih atau dalil yang secara pasti dan tegas dari Alquran, hadits, maupun ijmak ulama tentang pengharamannya secara mutlak. Karena jika ada dalil yang pasti, jelas, dan tegas dari Alquran, hadits, ataupun ijmak, tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak jaman dulu.

"Semua dalil yang dijadikan sandaran bersifat zhanny dalalah yang penafsirannya bersifat ijtihadi subjektif. Oleh sebab itu, sepatutnya kita semua bersikap tasamuh atau toleran terhadap pendapat yang berbeda," ujar Kiai Jeje.

Kiai Jeje mengatakan, sungguh suatu sikap arogan dan tidak bijak ketika memaksakan kepada semua orang untuk tunduk dan hanya mengikuti pendapat mazhab kelompoknya yang diklaim paling benar.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) ini mengatakan, padahal yang pasti dan disepakati keharamannya oleh semua ulama adalah segala musik dan lagu yang isinya mengandung, mendorong atau menyebabkan pelaku dan pendengarnya melakukan maksiat, berbuat dosa, mengerjakan kefasikan dan kekufuran, baik secara itikadnya, ucapannya, maupun perbuatannya.

"Tidaklah bijak jika saat ini kita terus mendaur ulang perdebatan dan polemik, apalagi membangun narasi dan opini destruktif yang terkesan meningkatkan fanatisme kepada pengikut masing-masing kelompok," ujar Kiai Jeje.

Kiai Jeje mengatakan, hal mendesak untuk dipikirkan dan dilakukan saat ini adalah mencari solusi dari fenomena dan fakta berkembangnya industri musik dan nyanyian yang telah menjadi bagian budaya kehidupan masyarakat manusia secara global. Di mana tidak bisa dimungkiri sebagiannya itu cenderung merusak akhlak, moral, dan keadaban masyarakat yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeneralisir hukumnya bahwa segala jenis musik dan lagu adalah haram.

"Dari tinjauan filosofi dan normatifnya, musik dan nyanyian atau lagu adalah bagian dari ekspresi naluri keindahan dalam diri manusia. Sedang naluri keindahan itu sendiri adalah bagian dari fitrah penciptaan manusia," ujar Kiai Jeje.

Kiai Jeje menerangkan bahwa keindahan juga sifat dan perkara yang dicintai Allah. Dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Musik dan lagu adalah ekspresi fitrah manusia tentang keindahan suara dan nada. 

Sebagaimana keindahan model pakaian, arsitektur bangunan, lukisan, dan lain sebagainya. Maka mustahil Allah yang menciptakan fitrah keindahan itu dalam diri manusia lalu mengharamkan secara mutlak segala yang indah itu, jika tidak menimbulkan kemaksiatan kepada-Nya.

"Maka menjadi tugas para ulama kita memberi solusi, bimbingan, dan arahan kepada umatnya, bagaimana perkembangan seni dan budaya itu berada dalam relnya sebagai ekspresi fitrah naluriah yang Allah karuniakan kepada manusia, agar tidak melanggar akidah dan syariah agama-Nya," ujar Kiai Jeje. 

Kiai Jeje menegaskan, bagaimana ajaran Islam dapat mewadahi dan menyalurkan naluri keindahan yang diekspresikan dengan melahirkan seni budaya yang Islami. Di antaranya dengan mengembangkan dan memodernisir seni Islami di bidang sastra, syair dan puisi, lagu dan nada, lukisan dan kaligrafi, fashion dan arsitektur, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement