REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amich Alhumami menyatakan gerakan filantropi berbasis keagamaan selama 10 tahun terakhir mengalami pertumbuhan pesat.
"Saya kira 10 tahun terakhir yang bisa kita saksikan bahwa gerakan voluntarisme, filantropi, filantropi berbasis keagamaan dan terlebih lagi untuk filantropi Islam, luar biasa," ujar Amich.
Perkembangan tersebut tampak jika melihat dari sisi pertumbuhan filantropi secara masif dan berskala nasional. Mereka kemudian membentuk berbagai organisasi menjadi lembaga pengelola zakat atau filantropi Islam.
Adapun para aktor yang terlibat dalam pembentukan pelbagai lembaga pengelola zakat tersebut benar-benar menjadi kekuatan penggerak, yang berperan sebagai focal point (titik fokus). Bahkan menjadi prime movers (penggerak utama) gerakan sosial di bidang filantropi keagamaan.
Mereka secara langsung mengelola dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat luas untuk kepentingan umum. Selain melihat dari sisi aktivisme per orang yang kemudian membentuk beragam organisasi, lanjutnya, para donatur juga bersedia memberikan donasi dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf) berlandaskan ajaran agama.
"Saya kira itu pasti menghayati (beberapa) firman Allah SWT di dalam Alquran (terkait ajaran untuk beramal shalih, amal sosial dan memupuk sikap kedermawanan). Inilah panggilan profetik yang sangat diyakini oleh mereka yang bergerak di bidang filantropi Islam, baik sebagai pengumpul maupun sebagai donatur," ucapnya.
Menurut dia, gerakan filantropi semakin berkembang ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun. Saat itu, mobilisasi dana-dana publik bertumbuh secara signifikan yang dinilai menjadi tonggak pencapaian gerakan filantropi Islam.
Melihat tren tersebut, pemerintah memberikan tempat khusus terhadap gerakan filantropis Islam dalam berbagai kebijakan publik dengan pelbagai program. Mulai dari program prioritas pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta pemberdayaan dana sosial keagamaan.
"Jadi, payung kebijakan, payung program, yang tadi kami sampaikan adalah bagaimana memadukan sumber dana publik yang tersedia, yang kemudian dicantumkan di dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan juga yang dihimpun oleh masyarakat sendiri," ungkap Amich.
Lembaga filantropi berbasis agama juga berperan sebagai penyokong gerakan masyarakat sipil dalam mendukung pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) guna memberdayakan umat. Sejumlah target SDGs yang hendak dicapai antara lain memperkuat pilar sosial-ekonomi yang mencakup Tujuan 1 (tanpa kemiskinan), Tujuan 2 (tanpa kelaparan), Tujuan 3 (mencapai kehidupan sehat dan sejahtera), Tujuan 4 (pendidikan berkualitas), hingga Tujuan 6 (air bersih dan sanitasi layak).
Karena itu, Bappenas hendak mengkonsolidasikan ratusan lembaga zakat dan wakaf sebagai kekuatan sinergis dengan memanfaatkan Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) sebagai basis data kesejahteraan penduduk. Dengan adanya Regsosek, lembaga-lembaga tersebut dapat mengetahui antara lain sasaran penerima manfaat ziswaf secara tepat atau para donatur potensial yang berada di berbagai daerah Indonesia.
Untuk mewujudkan rencana itu, Kementerian PPN/Bappenas disebut perlu bekerja sama dengan Kementerian Agama, termasuk dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang tersebar secara nasional.
"Tantangan utamanya adalah mengonsolidasikan mereka itu supaya tidak terfragmentasi. Jadi (mereka) dalam satu arrangement sosial yang sama, dan kalau kami yang dalam posisi sebagai kementerian perencanaan bisa mengoordinasikan, maka kami mengambil peran itu dan tentu dengan Kementerian Agama, dengan badan-badan amil zakat yang lain, (bisa) bekerja secara bersama-sama," kata Amich.