REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai umat Muslim, kewajiban untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan landasan utama dalam menjalani kehidupan. Ketaatan ini tercermin dalam perilaku sehari-hari, ibadah, dan interaksi sosial.
Oleh karena itu, sebagai umat Muslim, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bukan hanya sekedar kewajiban, tetapi juga merupakan pondasi utama dalam membangun kehidupan yang harmonis dan bermakna.
Di samping itu, ketaatan kepada Allah dan Rasul harus didasari dengan ridha dengan niat yang tulus.
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
Akan merasakan kelezatan atau kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya. (HR. Muslim).
Makna dari "merasakan manisnya iman" adalah menikmati kebahagiaan saat melaksanakan ketaatan kepada Allah, bersabar menghadapi rintangan demi mendapatkan keridhaan-Nya, serta meletakkan prioritas pada kehidupan spiritual daripada keuntungan materi, semuanya disertai dengan kasih sayang kepada Allah dan Rasul-Nya melalui pemenuhan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Di sisi lain, makna dari "memiliki keridhaan terhadap Islam sebagai agama" adalah merasa puas dengan menerapkan ajaran Islam dan tidak akan menyimpang ke agama lain.
Sementara itu, "menyandarkan keridhaan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul" berarti memadai dengan mengikuti tuntunan dan praktik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, tanpa menginginkan petunjuk atau praktik yang lain.