REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecerdasan buatan dan media sosial yang bersifat generatif dapat melemahkan upaya untuk mengatasi perubahan iklim. Demikian menurut para peneliti dalam sebuah makalah yang dipublikasikan dalam jurnal Global Environmental Politics.
Hamish van der Ven dan rekan-rekannya berpendapat bahwa AI generatif, termasuk model bahasa besar (LLM) seperti chatGPT, dan media sosial dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu global yang mendesak, menumbuhkan rasa putus asa dan mengurangi kapasitas untuk berpikir kreatif dan memecahkan masalah.
Konsepsi yang umum adalah bahwa AI, media sosial, dan produk serta platform teknologi lainnya bersifat netral atau berpotensi memberikan dampak positif terhadap aksi perubahan iklim. Namun menurut peneliti, semua hal tersebut juga bisa berdampak buruk pada aksi iklim.
"Kita tahu, misalnya, tentang dampak langsung dari infrastruktur internet seperti server farm, penambangan bitcoin, dan struktur serupa. Namun, hanya sedikit sekali yang meneliti dampak buruk dan tidak langsung dari AI generatif dan media sosial terhadap iklim. Teknologi-teknologi ini memengaruhi perilaku manusia dan dinamika masyarakat, membentuk sikap dan respons terhadap perubahan iklim,” kata Dr van der Ven, asisten profesor manajemen bisnis sumber daya alam yang berkelanjutan, seperti dilansir Phys, Jumat (10/5/2024).
Dia mencatat bahwa AI dan teknologi sosial dapat mengurangi fokus kita pada krisis iklim. Dengan menawarkan konten yang selalu baru dan terus berubah, platform media sosial dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih lambat.
Selain itu, lanjut van der Ven, paparan berita negatif yang terus-menerus di media sosial juga dapat mengikis optimisme dan meningkatkan perasaan putus asa. “Semua ini dapat menghalangi kita untuk mengorganisasi atau mengambil tindakan kolektif dalam menghadapi perubahan iklim,” kata dia.
Para peneliti menyerukan agar AI generatif ditinjau secara hati-hati. Dr van der Ven mengatakan bahwa media sosial dan AI diketahui berkontribusi terhadap penyebaran informasi yang salah atau bias-yang dapat menghambat tindakan yang perlu kita lakukan untuk mengatasi perubahan iklim.
Karenanya, dia mendorong lebih banyak skeptisisme terhadap individu dan bisnis yang memposisikan digitalisasi sebagai solusi untuk krisis iklim.
“Kami meminta para peneliti untuk mengalihkan sebagian fokus mereka dari dampak langsung dan beralih ke dampak tidak langsung dari teknologi yang dimungkinkan oleh internet. Hanya melalui analisis berbasis fakta, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai dampak internet yang sebenarnya terhadap iklim," tegas dia.