REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D. mengemukakan bahwa gagasan politik menyatukan Anies dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2024 merupakan eksperimen yang baik dan berani untuk membersihkan pencitraan politik menuju polarisasi radikal agama atau radikal sekuler.
"Radikal sekuler di sini mirip-mirip radikal kiri yang anti-agama," kata Didik melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Sabtu, ketika merespons gagasan menyatukan Anies Rasyid Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 27 November mendatang.
Didik berpendapat bahwa politik dan demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini adalah pertanda baik, paling tidak dilihat dari sisi persepsi citra seperti ini.
Menyinggung soal peluang Anies dan Ahok bersatu, dia mengutarakan bahwa penyatuan keduanya sangat mungkin karena beberapa faktor, yakni pertama Anies sejatinya seorang yang religius, tetapi tidak radikal seperti yang dipersepsikan ketika Pilgub DKI Jakarta 2017.
Kedua, lanjut Didik, Ahok memang temperamental, yang kadang-kadang tabu di dalam politik. Namun, sesungguhnya Ahok adalah seorang yang nasionalis dilihat dari sejarah garis politiknya.
Ketiga, kata dia, tidak ada lagi faktor pendorong keduanya ke arah radikal karena Anies sudah bisa tampil pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 dengan citra nasionalis religius biasa. Keempat, Ahok juga akan bisa diterima publik.
"Anies dan Ahok pasti berpikir positif jika paham gagasan seperti ini dari berbagai pihak yang hendak menjadikannya simbol kesatuan dari keduanya," kata Didik.
Mengenai peluang Anies memenangi Pilkada DKI Jakarta 2024, dia memperkirakan peluang menang sangat besar, bahkan hampir 100 persen. Hal ini mengingat Anies punya prestasi di Jakarta meskipun banyak kritik juga.
"Jakarta indah dan banyak hal diselesaikan, juga bagian dari prestasinya. Di sisi lain, Anies makin populer ketika menjadi capres," ujarnya.
Jika Anies tidak masuk politik dalam dalam lima tahun ke depan, menurut dia, namanya hilang dari peredaran. Pasalnya, Anies bukan pemimpin partai politik seperti Prabowo Subianto atau Jusuf Kalla pada masanya.
"Oleh karena itu, masuk ke dalam politik di Jakarta adalah peluang yang baik, tidak hanya bagi karier dirinya, tetapi juga untuk bangsa dan Pilpres 2029," kata Didik.