Salafi Menginginkan Indonesia tanpa Muhammadiyah dan NU. Ga Bahaya Ta?
SAJADA.ID—Sahabat yang dirahmati Allah. Dakwah salafi selama satu dasa warsa terakhir seperti tidak terbendung. Migrasi pimpinan atau pengurus aktivis, para penggerak organisasi semacam Muhammadiyah, NU, LDII, Jatman, Al Irsyad ke salafi termasuk beberapa masjid dan amal usaha lainnya telah berpindah manhaj.
Nurbani Yusuf, komunitas Padhang Mahsyar, menyebutnya gerakan mereka ini sangat eksotik.
Menurutnya, dakwah salafi menjadi alternatif ketika para pemain lama mengalami stagnasi, kebekuan dan sibuk dengan birokrasi organisasi. Bahkan, dalam catatannya, kata Nurbani, salafi menginginkan Indonesia ini negeri sunnah, tanpa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Ga bahaya ta?
Baca Juga: Muhammadiyah Disusupi Salafi
Nurbani menyebutkan, salafi memiliki visi tersebut di atas dengan menghilangkan organisasi massa Islam. “Bukan organisasinya yang lenyap, tapi cara berpikirnya yang menghilang dan berubah menjadi salafisme-wahabisme,” tulisnya dalam draf arikel yang beredar di media sosial mengenai visi salafi 2030-2050.
Dikatakannya, demikian itulah pokok harakah infiltrasi. Salafisme tidak mengajak mendirikan masjid atau lainnya, tapi mengajak kita semua berpikir ala manhaj salafisme, yang terbukti sukses dalam dakwahnya.
Kenapa salafi tak bikin organisasi? “Sebab organisasi mempersulit gerakkan, mengambil model OTB (organisasi tanpa bentuk) salafi menjadi lincah bergerak bisa di manapun tidak dibatasi ruang dan waktu. Cara ini terbukti ampuh mensalafikan masjid, berikut organisasi atau perkumpulannya” jelasnya.
Karena tidak berbentuk? “Dengan cara ini, salafisme dan wahabisme bisa dengan mudah dan lincah menawarkan gagasan, ide-ide serta doktrin sebagaimana tercakup dalam manhajnya, saya menyebutnya sebagai: Strategi Dakwah Salafi,” kata Nurbani Yusuf.
Ia menyebutkan, setidaknya ada lima cara yang akan dilakukan kaum salafi-wahabi ini. Cara Pertama: Infiltrasi. Salafi bisa meng-infiltrasi, men-salafikan kalangan tertentu di manapun tempat yang di tinggali. Disebutkannya, dalam beberapa riset yang dilakukan BIN dan beberapa peneliti lainnya semisal Hefner, Andersom dan lainnya: Gerakan Islam Pasca-Reformasi disebutkan, bahwa gerakan ini sangat lincah meng-endors dan mensalafikan fasilitas umum, terutama masjid-masjid tidak bertuan dan belum punya kelamin dan stempel organisasi.
Baca Juga: Muhammadiyah Tidak Pernah Melarang Orang Bertahlil
“Ketika di Muhammadiyah dan NU, infiltrasi ini tidak melepaskan baju kemuhammadiyahan atau ke-NU-an, tapi memberi corak dan watak salafisme. Ringkasnya, organisasinya tetap Muhammadiyah atau NU tapi ber-otak dan berpikir salafisme dan wahabisme.
Baca Juga: Kisah Ulama yang Doanya Tertolak karena Sebutir Kurma
Cara kedua, kata dia, melakukan agitasi terhadap tokoh atau ulama, setidaknya dai atau mubalighnya. Dengan begitu paham salafi wahabi akan cepat dan mudah tersebar. “Agitasi terhadap takmir masjid pengurus pimpinan dan mubaligh sangat efektif mensosialisasikan doktrin-doktrin salafisme,” lanjutnya.
Cara ketiga, kata Nurbani, kemudahan memberikan beasiswa ke Timur Tengah terutama kepada ma’had (lembaga pendidikan) yang berafiliasi salafisme dan wahabisme. “Sebagian besar kita tidak memperhatikan manhaj dan ideologi tujuan belajar, akibatnya fatal,setelah pulang mengubah manhaj dan menyalahkan tatanan organisasi,” tulis Nurbani.
Cara keempat, lanjutnya, memaksimalkan media sosial (medsos). Medsos sebagai ruang publik adalah ruang paling efisien menyambung gagasan dan silaturahim. Komunitas tanpa halaqah. Jamaah tanpa masjid. Salafisme Wahabisme sangat cerdik memanfaatkan dunia maya. Ribuan foloower tumpah ruah dalam genggaman. “Mungkin pengajiannya dibubarkan tapi halaqah di medsos siapa bisa cegah?” lanjut Nurbani.
Baca Juga: Keutamaan Wudhu Menurut Para Pakar
Dan cara kelima; dukungan finansial dari simpatisan salafi, baik personal atau perkumpulan yang di Timur Tengah, Yaman dan negara-negara Islam lainnya, membangun pesantren, ma’had dan rumah tahfidz yang ber-manhaj salafi yang tumbuh menjamur tidak terkendali.
“Cara ini terbukti ampuh dan efektif sebagaimana lazimnya organisasi tanpa bentuk (OTB),” ungkap Nurbani.
Lebih lanjut ia menyebutkan, salafi gagal di NU, karena sangat kuat dan kental ideologi aswajanya. Sebaliknya, Muhammadiyah adalah sasaran paling empuk, sebab punya banyak kemudahan sebagai pintu masuk.
Baca Juga: Din: Dakwah Kultural Memperkuat Landasan Budaya Masyarakat
Apa saja pintu masuknya? “Muhammadiyah berideologi terbuka dan egaliter. Orangnya sangat baik, sederhana, lugu dan selalu husnudzan disamping suka memberi,” ujarnya.
Kemudahan lainnya, kata dia, karena di Muhammadiyah memiliki banyak kesamaan dalam amalan ibadah mahdhoh. Pengelolaan asetnya sentralistik, tapi dikelola otonomi di tingkat bawah. “Akibatnya sering ambigu dan tidak punya kekuatan untuk mengambil kebijakan pengelolaan aset terutama masjid karena kurang control,” jelasnya.
Menurut Nurbani, dari sinilah salafisme-wahabisme masuk, tumbuh dan berkembang dengan pesat. “Pimpinan Muhammadiyah mengambil jalan moderat dan memberi ruang bergerak terhadap salafisme,” ungkapnya.
Baca Juga: Mengapa Muhammadiyah Bersikukuh Menggunakan Metode Hisab?
Demikianlah catatan Nurbani Yusuf, mengenai visi salafi wahabi yang menginginkan Indonesia sebagai negeri Sunnah, tapi tanpa NU dan Muhammadiyah. Wallahu a’lam. (syahruddin el fikri/sajada.id)
Baca Juga:
Allah Haramkan Jasadnya Disentuh Api Neraka Bila Gembira Sambut Ramadhan
Pentingnya Kata Khair Atas Jenazah
Kelompok yang Mengiringi Jenazah
10 Golongan yang Jasadnya Masih Utuh Hingga Hari Kiamat
Kisah-Kisah Islami dan Inspiratif
Tempat Bersejarah dalam Al-Quran
Cara Membuat Tempat Wudhu yang Baik
Bukan Berdiri atau Jongkok, Begini Posisi Wudhu yang Baik