REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa dibuka merosot di tengah sentimen risk-off di pasar keuangan domestik akibat sentimen suku bunga kebijakan Amerika Serikat (AS) yang tinggi bertahan lebih lama. Pada awal perdagangan Selasa (14/5/2024) pagi, rupiah tergelincir 49 poin atau 0,31 persen menjadi Rp 16.130 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp 16.081 per dolar AS.
"Pernyataan beberapa pejabat Fed yang mendukung sikap higher-for-longer, termasuk Michelle Bowman dan Lorie Logan, meningkatkan sentimen risk-off di pasar keuangan domestik, sehingga mendorong rupiah melemah," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Wakil Ketua Federal Reserve, Philip Jefferson, menyatakan bahwa bank sentral AS atau The Fed harus mempertahankan tingkat suku bunga saat ini lebih lama hingga ada bukti yang jelas bahwa inflasi AS bergerak menuju target 2 persen.
Lebih lanjut Josua mengatakan Surat Berharga Negara (SBN) diperdagangkan bervariasi meskipun rupiah melemah.
Volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat sebesar Rp 13,41 trilliun pada Senin (13/5), lebih tinggi dibandingkan dengan volume perdagangan pada Jumat yang tercatat sebesar Rp 10,44 trilliun.
Kepemilikan asing pada obligasi rupiah meningkat sebesar Rp 2,49 triliun menjadi Rp 798 triliun atau 13,85 persen dari total obligasi yang beredar pada 8 Mei 2024.
Pada Selasa, pemerintah akan mengadakan lelang obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp22 triliun. Seri yang dilelang pada lelang kali ini adalah SPN3mo, SPN12mo, FR0101, FR0100, FR0098, FR0097, dan FR0102. Imbal hasil seri benchmark 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun masing-masing tercatat sebesar 6,95 persen, 6,99 persen, 7,01 persen, dan 6,97 persen.
Pada perdagangan hari ini, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp 16.050 per dolar AS sampai dengan Rp 16.150 per dolar AS karena investor cenderung menunggu rilis data inflasi AS besok.