REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Prof Eddy Hermawan, mengungkapkan bahwa tutupan awan telah melindungi Indonesia dari gelombang panas. Gelombang panas sendiri merupakan kondisi udara panas yang berkepanjangan selama lima hari atau lebih, dengan suhu rata-rata melebihi batas ambang normal selama lebih dari 30 hingga 40 tahun.
Eddy menjelaskan bahwa Indonesia hampir setiap hari ditutupi oleh awan. Hal ini lantaran Indonesia terdiri atas dua pertiga laut, sepertiga daratan, dengan lima pulau besar dan 17.548 pulau, di mana masing-masing pulau menghasilkan konveksi lokal dan regional sehingga menghasilkan awan.
“Walhasil, dengan adanya awan tersebut, kawasan kita yaitu Indonesia relatif aman dari bahaya gelombang panas,” kata Prof Eddy dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (14/5/2024).
Kawasan yang terpapar gelombang panas adalah kawasan atau negara yang didominasi oleh daratan, seperti India, Thailand, dan kawasan-kawasan seperti Afrika atau Brasil.
Eddy memprediksi, panas terik di Indonesia khususnya untuk kawasan barat dan pantura akan mencapai puncaknya pada sekitar bulan Juli 2024. Ini merujuk pada analisisnya terhadap perilaku data Indian Ocean Dipole (IOD) yang ada di Lautan Hindia.
Kondisi itu juga diperparah dengan mulai berhembusnya angin timuran yang bergerak melintasi kawasan Indonesia seiring dengan bergeraknya posisi matahari meninggalkan garis ekuator sejak 21 Maret, bergerak semu menuju belahan bumi utara (BBU).
“Jadi, ada indikasi kuat kondisi panas ini akan terus berlanjut. Selain kondisi uap air di kawasan barat Indonesia yang ditarik ke arah timur pantai timur Afrika, juga angin timuran yang berasal dari gurun di bagian utara Australia sudah mulai merangkak memasuki kawasan Indonesia. Gerbang utama yang akan menerima kondisi ini adalah kawasan NTT, diikuti NTB, Bali, Jawa Timur, dan seterusnya,” kata Eddy.
Lebih lanjut Eddy menyampaikan bahwa fenomena panas terik saat siang hari diikuti hujan di malam hari mengindikasikan Indonesia sedang memasuki akhir musim transisi pertama (MAM). Ia pun menyarankan masyarakat yang tengah mengalami cuaca atau hawa panas agar memberikan asupan air yang cukup bagi tubuh.
Kedua, hindari minum air dingin karena perubahan suhu yang drastis akan mengganggu kesehatan. Ketiga, untuk daerah atau sentra pangan debit air mungkin akan berkurang, tetapi tidak akan permanen.
"Usahakan jangan berhadapan langsung dengan matahari, artinya jangan menatap matahari siang hari bolong, karena sinar UV sangat kuat sekali. Tidak perlu panik, tetap lindungi diri dari cahaya matahari yang menyengat,” kata Eddy.