REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Arif Fahrudin menyampaikan, secara normatif dan historis, Islam hadir dengan membawa karakter wasathiyah (proporsional). Semua aktualisasinya akan terasa indah jika tidak terlepas dari karakter dan nilai norma wasathiyah.
"Misalnya dalam masalah yang sedang hangat di publik tentang hukum musik. Secara normatif, Islam menyatakan bahwa semua urusan muamalah insaniyah hukum asalnya adalah mubah sampai datang hal yang membuatnya haram (al-ashlu fil mu'amalah al-ibahah hatta yadulla ad-dalil 'ala tahrimihi)," kata Kiai Arif kepada Republika, Rabu (15/5/2024).
Kiai Arif mengatakan, urusan muamalah insaniyah berbeda dengan urusan ibadah yang hukum asalnya adalah semua ibadah tidak boleh mengarang sendiri (haram merekayasa) sampai benar-benar ada dalil kebolehannya. (Al-ashlu fil 'ibadah at-tahrim hatta yadulla ad-dalil 'ala al-ibahah). Sebegitu fleksibelnya Islam dalam mengharmonisasi dialektika "hukum langit" dan estetika dunia.
Kiai Arif menegaskan, Islam tidak saklek. Maka yang diharamkan adalah muamalah insaniyah yang membuat manusia lalai terhadap perintah ibadah kepada Allah SWT atau bertentangan dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Demikianlah musik diposisikan.
"Kembali lagi pada niatnya (innamal a'malu bin niyat wa innama likulli imrin ma nawa). Maka, Wali Songo, terutama Sunan Bonang, menjadikan kesenian musik Bonang sebagai medium dakwah Islamiyah, hasilnya masyarakat Jawa sangat terhibur dan tertarik kepada Islam karena keindahan dan keagungan Islam," ujar Kiai Arif.
Kiai Arif menjelaskan, Sunan Kalijaga, menjadikan kesenian wayang dan tembang-tembang hit masyarakat Jawa saat itu sebagai media menampilkan luhur dan indahnya ajaran Islamiyah. Walisongo berhasil menyuguhkan ajaran Islam dan seni budaya sebagai hal yang saling memperindah dan mengagungkan. Bukan sebaliknya yaitu sebagai hal yang dihindari atau diharam-mutlakkan. Hasilnya, masyarakat Jawa berbondong-bondong tertarik dengan indahnya Islam.
"Walisongo mengubah musik yang saat itu bisa saja digunakan sebagai piranti perilaku maksiat dan menuruti hawa nafsu buruk manusia, menjadi sarana meningkatkan keindahan dan kesyahduan ajaran Islam," ujar Kiai Arif.
Wasekjen MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah ini mengatakan, Rasulullah SAW saat hadir ke Madinah saat hijrah juga disambut dengan nyanyian sukacita beriring rebana dan alat musik Arab saat itu. Sehingga musik menjadi alat ekspresi suka cita menyambut kebahagiaan kehadiran Rasulullah SAW adalah semakin membuat nilai kegembiraan dan kebaikan berlipat (Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin).
Maka, hendaknya sesama elemen umat Islam hendaknya bisa menjaga pandangan dan sikap yang tasamuh (tollerance) dan tawazun (proporsional) terhadap menyikapi perbedaan. Jika perbedaan itu masih dalam ranah yang dibolehkan untuk saling berbeda artinya bukan masalah pokok ajaran agama Islam, maka perbedaan pandangan itu menjadi rahmat pencerahan luasnya wawasan dan perspektif dalam Islam. Dengan syarat, ekspresi perbedaan itu tidak dilakukan dengan ujaran kebencian, menyudutkan, menyalahkan, apalagi merendahkan pihak yang berbeda pandangan.
"Ekspresikan perbedaan dengan cara yang santun dan respek. Masalah musik bukanlah masalah pokok agama (mahdhah)," ujar Kiai Arif.
Kiai Arif mengatakan, di sinilah dituntut untuk berpikir dan berperilaku wasathiyah dalam Islam. Tidak terjebak kepada pemikiran yang terlalu kaku (tasyaddudy) dan juga tidak terlalu memudah-mudahkan (tasahhuly). Semua masalah harus dicari hukum asalnya secara jernih, lalu cara mengekspresikan perbedaan pandangan terhadap suatu masalah agama tetap dengan penuh respek dan menghormati.