KINGDOMSRIWIJAYA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak baru akan berlangsung 27 November 2024. Namun jadwal tahapan Pilkada sudah dimulai sejak 27 Februari 2024. Tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah akan dibuka pada 27 – 29 Agsutus 2024. Untuk pasangan calon perseorangan persyaratan dukungan sudah dimulai sejak 15 Mei 2024.
Selama rentang Februari – Agustus 2024, partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota sudah mulai melakukan penjaringan dengan membuka pendaftaran bakal calon atau kandidat kepala daerah yang akan diusung.
Ada fenomena menarik di Sumatera Selatan (Sumsel), pada masa penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik yakni banyak bermunculan bakal calon atau kandidat perempuan yang siap maju menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Dengan menghimpun daftar bakal calon atau kandidat perempuan dari media massa baik cetak dan elektronik ada sejumlah nama yang sudah datang ke kantor partai politik mengambil formulir pendaftaran. Di antara nama-nama yang kerap muncul di media massa ada Fitrianti Agustinda dan Nandriani Octarina (Pilkada Palembang).
Kemudian di kabupaten dan kota lainnya di Sumatera Selatan (Sumsel), ada Murwani Emasrissa Latifah dan Rika Novalina Sungudi (Pilkada Prabumulih), Lidyawati (Pilkada Lahat), Shinta Paramita Sari (Pilkada Muara Enim) Hepy Seftriani (Pilkada Pagaralam) dan Ratna Mahmud (Pilkada Musi Rawas).
Untuk Pilkada Provinsi Sumsel yang juga akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel 2024 - 2029, media massa menyebut nama Holda anggota DPRD Sumsel (mendaftar bakal calon gubernur) dan nama RA Anita Noeringhati yang menjabat Ketua DPRD Sumsel untuk bakal calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Mawardi Yahya (Wakil Gubernur Sumsel 2018 – 2023).
Akankah nama-nama tersebut resmi akan diusung partai politik pada 27 – 29 Agustus 2024 ke KPUD? Jawabannya, belum dapat dipastikan perempuan-perempuan tersebut maju sebagai calon atau wakil calon kepala daerah atau tidak. Mekanisme partai politik yang akan menentukan.
Banyaknya perempuan yang bersiap dan menyatakan diri maju menuju Pilkada 2024 di Sumsel adalah potret dari kesetaraan dan keadilan dalam berpolitik. Perempuan tidak hanya maju pada pemilihan umum legislatif sebagai calon anggota DPRD tapi juga siap berkiprah di ranah eksekutif sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Jumlah perempuan yang akan ikut Pilkada kali ini lebih banyak dibanding periode Pilkada sebelumnya.
Di Sumsel pada Pilkada yang lalu sudah ada perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah. Perempuan pertama yang menjadi kepala derah di Sumsel adalah Ida Fitriati Wali Kota Pagaralam (2013 – 2018). Kemudian Ratna Mahmud Bupati Musi Rawas (2021 – sekarang) berpasangan dengan Wakil Bupati yang juga perempuan Suwarti. Sebelumnya ada Ratnawati Ibnu Amin sebagai Wakil Bupati Musi Rawas (Mura) periode 2005 – 2010.
Untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel, belum ada calon perempuan yang terpilih, melainkan pernah ada calon wakil gubernur perempuan pada pilkada Gubernur Sumsel 2013 – 2018, yaitu Annisa Djuita Supriyanto yang berpasangan dengan Eddy Santana Putra dan Maphilinda yang berpasangan dengan Herman Deru.
Perempuan dan Politik
Pers sudah memproduksi ada sekitar 10 nama dan masih mungkin bertambah perempuan di Sumsel yang bersiap menuju Pilkada 2024. Munculnya kandidat perempuan dalam Pilkada kali ini menjadi bukti bahwa Pilkada bukan hanya milik laki-laki, seperti halnya di legislatif melalui affimartive action jumlah perempuan yang duduk di parlemen lambat laun mengalami peningkatan.
Affimartive action adalah strategi atau cara mengatasi kendala keterwakilan perempuan dalam politik. Ranah politik tersebut tidak hanya di legislatif melainkan juga di eksekutif. Menurut Carol Lee Bacchi dalam “The Politics of Affirmative Action: Women Equality and Category Politics” (1996), Affirmative Action merujuk kepada serangkaian program yang ditujukan untuk kelompok-kelompok tertentu untuk memperbaiki ketidak-setaraan yang mereka alami.
Mengutip Ufi Ulfiah dalam “Perempuan di Panggung Politik” (2007), ranah politik dipandang sebagai jalan masuk bagi perempuan untuk mewujudkan perbaikan yang diinginkan. Politik adalah ranah yang paling fundamental dalam pemenuhan hak-hak lainnya. Jika hak politik perempuan saja tidak terpenuhi maka hak-hak di bidang lain pun, seperti pendidikan, kesehatan da sebagainya tidak akan terpenuhi juga.
Dalam peta perpolitikan di Indonesia memang masih ada yang menempatkan perempuan sebagai obyek dibandingkan subjek. Itu bukan berarti peluang perempuan bersaing dengan laki-laki tertutup. Dengan pemilihan langsung kepala daerah, peluang perempuan mengikuti pilkada terbuka lebar, dari tadinya jumlahnya minim, kini semakin meningkat.
Menurut Robi Cahyadi K dosen Fisip Unila dalam artikelnya “Perempuan dan Pilkada” (2010) perempuan merupakan ladang strategis dalam kacamata politik. Secara jumlah, perempuan lebih banyak dari laki-laki yang berkorelasi pada banyaknya suara yang dapat diraih pemilih perempuan. Secara emosional, perempuan lebih cenderung solid pada satu pilihan. Kandidat yang dianggap baik, mampu, dan sudah memiliki respek positif akan cenderung untuk dipilih. Pilihan itu tidak akan berubah bila tidak ada faktor eksternal dari diri perempuan itu sendiri.
Bagi perempuan yang mengikuti kontestasi politik (pemilu legislatif atau pilkada) menurut Inche DP Sayuna dalam “Perempuan & Politik Jalan Ketiga Menuju Parlemen” (2021) kemungkinan besar tingkat keterpilihannya sangat ditentukan tiga hal: a) Seleksi diri sendiri. b) Diseleksi oleh Partai Politik, dan c) Diseleksi oleh Pemilih.
Dalam seleksi diri sendiri, keputusan untuk terjun dalam bidang politik didasari oleh ambisi, sumber daya dan peluang personal untuk dipilih. Keputusan untuk masuk dalam jabatan pengambil keputusan politik adalah keputusan aktor yang rasional akan tetapi perlu mengambil tindakan untu memprediksi outcomes dan menaksir cost serta benefits.
Inche DP Sayuna yang juga menjabat Wakil Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), mengingatkan aspek penting yang harus diperhatikan peempuan untuk mengikuti kompetisi elektoral dan berpeluang untuk dipilih.
Pertama, perempuan harus memiliki inner desire perempuan kandidat ketika hendak mencapai kekuasaan. Kedua, modal sosial, ekonomi dan modal politik perempuan merupakan basis yang sangat penting ketika perempuan memutuskan untuk running for office. Dalam politik, ekspektasi terhadap kualitas, penampilan dan perilaku kandidat sangat tergenderkan.
Ketiga, keadaan struktural dan peluang politik bagi perempuan yang memungkinkan perempuan berkeinginan untuk mengekspresikan ambisi politiknya, untuk kemudian mempertimbangkan running for office dalam pemilu.
Kemudian faktor diseleksi partai politik, pada tahap ini perempuan harus memiliki pilihan terhadap partai politik yang menjadi pilihan politiknya. Ada beberapa pola seleksi yang menjadi pertimbangan partai politik. Pertama, seleksi menggunakan pola Patronage Oriented System, di mana aturan kurang jelas, kewenangan berdasarkan kepemimpinan tradisional atau kharisma dari pada kewenangan legal rasional dan loyalitas pada kekuasaan di partai adalah yang utama.
Kedua, seleksi menggunakan pola Bereaucratic Oriented System, sebuah pola di mana aturan tentang seleksi diatur secara detil, terstandarisasi, eksplisit, dan mengabaikan siapa yang berada pada posisi kekuasaan, kewenangan berdasarkan prinsip legalistik.
Faktor diseleksi oleh pemilih. Dalam konteks ini kandidat perempuan akan dipilih pemilih dalam pemilihan umum. Persoalannya, yang muncul bias sistematik terhadap perempuan yang disebabkan oleh mindset yang belum gender friendly. Pada faktor ini, kandidat perempuan adalah sejauh mana investasi sosial yang sudah dimiliki pada tingkat basis pemilih yang sangat menentukan keterpilihannya.
Fenomena banyaknya perempuan di Sumsel menuju Pilkada serentak 2024 apa lagi kemudian ada yang menjadi pemenang dalam kontestasi politik lokal ini menjadi pertanda adanya perkembangan baru mengenai gender, perempuan dan budaya serta politik lokal di daerah ini.
Mengutip kajian LIPI dalam buku “Perempuan Kepala Daerah dalam Jejaring Oligarki Lokal” (2017), harapannya, semoga perempuan-perempuan dalam pilkada di Sumsel tidak hanya menjadi “narasi simbolis perempuan” (symbolic narratyves of women) melainkan menjadi “narasi substantif perempuan” (substantive narratyves of women). (maspril aries)