REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan fenomena panas dan gerah yang sekarang terjadi di Indonesia dipicu oleh faktor pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya awan dan curah hujan.
"Fenomena panas saat ini bukanlah gelombang panas," kata Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo dalam forum diskusi Denpasar 12 yang dipantau di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Eko menuturkan kondisi gerah yang sekarang dirasakan masyarakat Indonesia merupakan salah satu hal umum yang terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau.
Menurutnya, peralihan musim itu menciptakan dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi.
"Kami mencatat beberapa suhu ekstrem yang sempat terjadi di beberapa wilayah hanya saja tidak ada yang melebih angka 37 derajat Celcius," kata Eko.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa wilayah Indonesia yang terletak di sekitar ekuator dengan kondisi geografis kepulauan dan dikelilingi perairan yang sangat luas membuat negara ini tidak merasakan efek gelombang panas.
Karakteristik dinamika atmosfer Indonesia berbeda dengan daerah yang berada di wilayah lintang tengah dan lintang tinggi. Wilayah Indonesia juga memiliki variabilitas perubahan cuaca yang sangat cepat.
"Perbedaan ini menjadikan wilayah Indonesia tidak mengenal fenomena gelombang panas," papar Eko.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Didi Setiadi memaparkan bahwa gelombang panas adalah fenomena suhu ekstrem yang bertahan selama beberapa hari di suatu tempat.
Gelombang panas disebabkan oleh sistem tekanan tinggi akibat gelombang atmosfer Rossby menyebabkan udara bergerak ke bawah, sehingga udara panas di tempat itu cenderung terjebak seperti di dalam oven.