REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Parlemen yang juga Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Kementerian Negara tidak terjadi kebetulan dengan wacana presiden terpilih Prabowo Subianto yang ingin menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurutnya hanya menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alasan.
Sebagaimana diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah memulai pembahasan revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pada Selasa (14/5/2024) dan dilanjutkan Rabu (15/5/2024). Latar belakang revisi beleid tersebut diklaim adalah putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011 yang diketok pada 2011 atau 13 tahun yang lalu.
Muncul kecurigaan di publik bahwa DPR RI sengaja membahas revisi UU Kementerian Negara tersebut beriringan dengan memuluskan wacana penambahan kementerian di masa kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sehingga jumlah kabinet atau menteri semakin banyak.
“Saya kira ngeles saja DPR ketika menyebutkan revisi ini untuk menindaklanjuti keputusan MK tahun 2011 silam. Ini alasan agar pembahasan RUU Kementerian Negara bisa masuk jalur kumulatif terbuka, sehingga tak perlu mengikuti standar prosedur pembahasan RUU Prioritas yang harus dimulai dengan pembuatan naskah akademik, penyusunan draf, pembahasan hingga pengesahan,” kata Lucius saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).
Padahal, kata Lucius, tanpa DPR ngeles atau mencari-cari alasan, publik tahu bahwa saat ini presiden dan wakil presiden terpilih memang sedang mempersiapkan atau menyusun kabinetnya untuk mengisi posisi menteri.
“Keinginan merevisi UU Kementerian itu pasti munculnya dari kebutuhan presiden dan wapres terpilih menjelang pembentukan kabinet. Alasan ini lebih masuk akal ketimbang melempar ke putusan MK tahun 2011,” tegasnya.
Hal itu terlihat jelas dari keinginan presiden terpilih Prabowo Subianto yang sebelumnya telah menyatakan ingin melibatkan atau menggandeng semua kelompok kepentingan dalam kabinetnya.
“Itu jelas berimplikasi pada kapasitas kursi kekuasaan yang ingin dijadikan komoditas dalam transaksi politik antara presiden dan partai ataupun kelompok kepentingan,” tutur dia.
“UU Kementerian yang ada sekarang itu mungkin tidak memberikan keleluasaan kepada presiden untuk membagi-bagi kue kekuasaan itu. Karena itu revisi UU untuk memberikan keleluasaan kepada Presiden dalam membentuk kabinet,” lanjutnya.