REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Membaca bagaimana konstruksi pembacaan teks dalam tradisi intelektual Islam, tentu banyak menemukan isykaliyat dari jargon “Kembali kepada Alquran dan Sunah” yang belakangan banyak digembor-gemborkan kalangan Salafi.
Seperti apakah bentuk dan polanya? Apakah yang dimaksud adalah pembacaan secara literal dan tekstual terhadap ayat atau hadits-hadits itu? Ataukah pemaknaan liberal yang menitikberatkan pada rasionalitas? Atau seperti apa?
Dalam titik ini, memang realisasi jargon itu tidaklah sederhana seperti yang dikira. Pembacaan yang berat sebelah—entah secara literal atau liberal—justru akan berdampak pada “pereduksian” teks itu sendiri dan dalam level tertentu malah memburamkan substansi syariat Islam yang agung.
Pada praktiknya, termasuk kelompok yang mengaku mereka sebagai pengikut salaf, kenyataannya, lebih berat sebelah. Mereka mengklaim kembali ke Alquran dan Sunnah, namun faktanya, mereka juga tak lepas dari pendapat ulama, yang mereka anggap paling pantas memahami teks keagamaan. Mereka mengklaim kembali kepada Alquran dan Sunnah, tetapi hanya merujuk pada Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Hal ini yang menimbulkan persoalan. Dalam tradisi pembacaan teks keagamaan klasik, justru fenomena semacam ini bertolak belakang. Diskusi tentang teks, tak lepas dari pergulatan ilmu alat (ilmu dasar bahasa) dan komponen penting lain, seperti ushul fiqih, Asbabun nuzul, asbabul wurud, hingga maqashid syariah. Sebab, teks tidak selamanya bersifat umum ('aam), terkadang ada pembatasnya (khash), ada lafal-lafal yang muthlaq atau muqayyad, dan begitu seterusnya.
Sebagai bagian dari disiplin ilmu Islam, ushul fikih memiliki peran dan urgensi yang tak bisa terlepas dari teks-teks keagamaan, baik yang bersifat naqli atau aqli. Disiplin ilmu ini kerap didefinisikan sebagai ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori, dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.
Dalam perkembangannya, disiplin ilmu ini melahirkan metode dan sistematika pemikiran dalam merumuskan hukum Islam. Ushul fikih pun berkembang dari masa ke masa, memunculkan tiap tokoh dengan beragam corak pemikirannya yang sangat brilian.
Sebut saja misalnya Imam Syafii yang mencetuskan kitab Ar-Risalah. Kitab yang dikarang oleh Imam Syafi'i ini adalah kitab ushul fikih pertama. As-Syafi'i menulis kitab ini dengan tujuan untuk meletakkan rambu-rambu dan pedoman yang harus diperhatikan mujtahid ketika merumuskan hukum atas sebuah kasus yang muncul di tengah masyarakat. Konsep kitab ini adalah tanya jawab dari soal-soal yang diajukan oleh Abdurrahman bin Mahdi.