Sabtu 18 May 2024 12:51 WIB

Restrukturisasi Covid-19 Dihentikan, Bagaimana Proyeksi Kenaikan Kredit Macet?

Total kredit restrukturisasi Covid-19 pada Maret 2024 mencapai Rp 228 triliun

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kredit macet (ilustrasi). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan terdapat kemungkinan kenaikan kredit macet (NPL) sektor perbankan saat kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 dihentikan
Foto: Republika/M Syakir
Kredit macet (ilustrasi). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan terdapat kemungkinan kenaikan kredit macet (NPL) sektor perbankan saat kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 dihentikan

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Saat ini kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 sudah dihentikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan terdapat kemungkinan kenaikan kredit macet (NPL) sektor perbankan. 

“Ada kemungkinan kenaikan NPL akibat dari pemburukan kredit restrukturisasi setelah kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 dihentikan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, Jumat (17/5/2024). 

Meskipun begitu, Dian mengungkapkan sisa kredit restrukturisasi Covid-19 sudah jauh di bawah total kredit restrukturisasi saat awal pandemi. OJK mencatat total kredit restrukturisasi Covid-19 pada Maret 2024 mencapai Rp 228 triliun atau 3,14 persen dari total kredit. 

Sementara itu, loan at risk (LaR) perbankan pada bulan Maret 2024 sebesar 11,10 persen. “Ini sudah menurun semakin mendekati level sebelum pandemi yaitu di kisaran 9-10 persen,” ucap Dian. 

Selain itu, Dian menegaskan, kenaikan NPL tersebut secara umum telah dimitigasi oleh bank. Hal tersebut dilakukan melalui pembentukan CKPN sehingga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap permodalan bank.

Jika dilihat secara historis, Dian menyebut, NPL saat ini tergolong lebih rendah dibandingkan saat pandemi yang mencapai di atas tiga persen. Hal itu meskipun suku bunga pada saat itu jauh lebih rendah.

Dengan begitu, Dian memastikan risiko kredit perbankan yang dicerminkan oleh NPL tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga. “Hal ini juga kondisi makroekonomi terutama pertumbuhan ekonomi domestik,” tutur Dian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement