REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Iran, Ebrahim Raisi dilaporkan mengalami kecelakaan saat menumpang helikopter. Helikopter yang dia tumpangi jatuh usai meninjau wilayah perbatasan Iran. Saat ini, dilaporkan Raisi meninggal atas peristiwa itu.
Raisi lahir di kota Masyhad, Iran pada 14 Desember 1960. Sebelum menjadi presiden Iran, Ebrahim Raisi adalah seorang pemuka agama, jaksa, dan politikus Iran yang menjabat sebagai kepala peradilan Iran pada tahun 2019-2021, kemudian menjadi presiden Iran pada 2021 sampai saat ini.
Ebrahim Raisi dibesarkan di kota Masyhad, pusat keagamaan penting bagi 12 imam syiah sebagai tempat pemakaman imam ke-8 bernama Ali al-Rida. Dilansir dari laman Britannica, Senin (20/5/2024).
Ebrahim Raisi lahir pada masa dimulainya reformasi pertanahan tahun 1960-1963 dan program pembangunan Revolusi Putih tahun 1963-1979, ketika Iran sedang mengalami perubahan besar dalam distribusi kekuasaan dan kekayaannya. Meskipun negara ini mengalami modernisasi dan urbanisasi yang pesat, kelompok ulama termasuk di antara kelompok yang paling kehilangan haknya akibat reformasi yang dilakukan Shah. Hal ini terutama terjadi di Masyhad, di mana lembaga ulama mempunyai kepemilikan properti yang luas dan pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian lokal.
Dibesarkan dalam keluarga pemuka agama, Ebrahim Raisi mengenyam pendidikan agama. Pada tahun 1975, Ebrahim Raisi menghadiri seminaris di Qom, pusat intelektual Syiah terkemuka, dan belajar di bawah bimbingan beberapa pemuka agama paling terkemuka di Iran.
Pada saat masyarakat Iran secara luas tidak puas dengan rezim Mohammad Reza Shah Pahlavi, banyak seminaris di Qom yang mengikuti cita-cita revolusioner Ruhollah Khomeini, yang penafsirannya tentang velāyat-e faqīh (perwalian para ahli hukum) berupaya untuk menjamin hak-hak ulama, pengawasan terhadap kebijakan dan administrasi pemerintah.
Ebrahim Raisi konon merupakan partisipan aktif dalam peristiwa tahun 1978-1979 yang mendorong Syah ke pengasingan dan membangun sistem pemerintahan berdasarkan visi Khomeini.
Setelah Revolusi Iran, republik Islam yang masih baru ini menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari loyalis Syah yang berpendidikan Barat, pembangkang sayap kiri sekuler, hingga perang habis-habisan dengan negara tetangga Irak.
Ebrahim Raisi mendedikasikan karirnya sejak awal untuk menegakkan rezim yang baru lahir melawan oposisi internal. Dia menjalani pelatihan administrasi dan segera bergabung dengan kantor kejaksaan di Masjed Soleyman di barat daya Iran. Selama enam tahun berikutnya, ia memperoleh pengalaman lebih lanjut sebagai jaksa di berbagai yurisdiksi, termasuk kota Karaj, kota Hamadan, dan provinsi Hamadan.
Pada tahun 1985, Ebrahim Raisi menjadi wakil jaksa di ibu kota negara Iran, Tehran. Pada tahun 1988, ketika beban ketidakstabilan dan Perang Iran-Irak sangat membebani rezim, Khomeini memerintahkan eksekusi ribuan tahanan politik (yang ia tuduh bekerja sama dengan Irak) dan menunjuk Ebrahim Raisi ke dalam sebuah komite yang bertugas menentukan apakah tahanan tersebut termasuk dalam kelompok yang tidak setia kepada pemerintah.
Setelah Ali Khamenei menjadi rahbar (pemimpin Iran) pada tahun 1989, Ebrahim Raisi mulai menduduki jabatan senior dalam sistem peradilan Iran. Setelah menjabat sebagai jaksa di Tehran (1989-94), jabatannya yang paling menonjol termasuk kepala Organisasi Inspeksi Umum (1994-2004) dan jaksa agung Pengadilan Khusus untuk Klerus (2012–21), jabatan yang mengawasi integritas badan dan pejabat pemerintah.