Senin 20 May 2024 15:24 WIB

Uang Kuliah di PTN Mahal, Lalu ke Mana 'Larinya' Anggaran Pendidikan Rp 665 Triliun?

Alokasi anggaran pendidikan di RI Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari APBN 2024.

Ratusan mahasiswa USU saat melakukan aksi demo ke biro rektor USU mempertanyakan kenaikan UKT.
Foto: ANTARA/HO
Ratusan mahasiswa USU saat melakukan aksi demo ke biro rektor USU mempertanyakan kenaikan UKT.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Ronggo Astungkoro

Biaya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia melambung tinggi dan menuai gelombang protes para mahasiswa. Menanggapi hal itu, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes menyoroti alokasi anggaran 20 persen dan mewanti-wanti agar anggaran itu tidak dialirkan ke hal-hal yang tidak jelas juntrungannya.

Baca Juga

“Barangkali perlu kita telusuri dan evaluasi, 20 persen itu tinggi Rp 665 triliun, tetapi kita juga paham bahwa alokasi dana tersebut tersebar ke mana-mana, bahkan alokasi yang diduga dikaitkan dengan pendidikan menjadi sesuatu yang tidak jelas. Ini barangkali yang harus kita perjuangkan,” kata Fahmy dalam keterangannya, dikutip Senin (20/5/2024).

Diketahui, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari total APBN 2024 sebanyak Rp 3.325,1 triliun. Alokasi anggaran itu sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Secara teknis kami meminta Kemendikbudristek untuk merevisi terkait UKT, tapi menurut saya, saya mengajak semua mari perjuangkan agar biaya pendidikan minimal 20 persen ini benar-benar efektif untuk semata-mata pendidikan, bukan dicari-cari jalan yang terkait dengan pendidikan,” jelasnya.

Fahmy lalu mengkritisi, dari jumlah Rp 665 triliun, yang dikelola oleh Kemendikbudristek hanya sebanyak Rp 90 triliun. Antara lain untuk Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sekitar Rp 34 triliun atau hanya sekitar 1 persen saja dari jumlah APBN 2024.

“Lalu kalau dikaitkan dengan anggaran pendidikan yang 20 persen (Rp 665 triliun), sekitar 5 persen, padahal kita memerlukan lulusan sarjana yang lebih bermutu dan lebih banyak. Saya mengajak agar lebih strategis kita harus terus-menerus menyoroti kemana alokasi 20 persen dana pendidikan itu, jangan sampai menyebar tidak efektif,” tegasnya.

Fahmy menegaskan, Komisi X DPR RI bakal terus mengawal masalah biaya UKT tinggi yang saat ini tengah dikeluhkan oleh sebagian besar mahasiswa serta para wali mahasiswa ataupun calon mahasiswa. Dia pun memastikan bakal terus mendorong Kemendikbudristek agar segera melakukan revisi peraturan terkait yakni Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek. 

Sebagai informasi, Mendikbudristek Nadiem Makarim pernah menerbit Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Tarif SSBOPT ditentukan oleh Mendikbudristek dengan pertimbangan capaian standar PTN, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.

Selain itu, peraturan turunan mengenai besaran SSBOPT diatur dalam Keputusan Mendikbudristek Nomor 54/P/2024. Komponen SSBOPT terdiri atas biaya langsung yang merupakan biaya operasional penyelenggaraan program studi dan biaya tidak langsung yang merupakan biaya operasional pengelolaan institusi.

Kemudian itu akan digunakan sebagai dasar kementerian untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk PTN dan tarif BKT untuk setiap program studi. 

Menurut anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itulah pangkal masalah biaya pendidikan tinggi belakangan. Hugo meminta Kemendikbudristek untuk meninjau ulang peraturan tersebut karena telah membuat wajah pendidikan tinggi menjadi komersil.

“Menurut saya, (Permendikbud) itu rentan diinterpretasikan oleh perguruan tinggi sesuai dengan kemauan mereka gitu. Nah, satu poin yang berkaitan dalam salah satu pasal, bahwa biaya UKT ditetapkan usai mahasiswa diterima. Saya rasa ini rentan terjadi komersialisasi pendidikan,” ucap Hugo dalam keterangannya, Senin (20/5/2024).

Hugo melihat, regulasi tersebut mengakibatkan nilai Biaya Kuliah Tunggal (BKT), Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) naik fantastis. Hal tersebut berujung pada membebani sekaligus mempersulit mahasiswa untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.

Politikus PDI-Perjuangan itu pun setuju ata wacana evaluasi alokasi 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Hal itu terkait apakah penyalurannya sudah berkontribusi pada perbaikan kualitas pendidikan atau belum. Menurut dia, upaya ini krusial demi masa depan generasi bangsa.

 

 
photo
Dana pendidikan yang dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN selalu naik tiap tahun dari sisi nominal. Tetapi, biaya kuliah justru semakin mahal. - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement