Rabu 22 May 2024 08:44 WIB

Macron akan Berkunjung ke Kaledonia Baru

Masyarakat Kaledonia Baru ketakutan.

Rep: Lintar Satri/ Red: Ani Nursalikah
Suasana pascakerusuhan di Noumea, Kaledonia Baru, Rabu 15 Mei 2024.
Foto: AP Photo/Nicholas Job
Suasana pascakerusuhan di Noumea, Kaledonia Baru, Rabu 15 Mei 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Juru bicara pemerintah Prancis mengatakan Presiden Emmanuel Macron akan berkunjung ke Pulau Pasifik Kaledonia Baru. Kunjungan ini dilakukan satu pekan setelah kerusuhan pecah di wilayah Prancis tersebut.

Kerusuhan yang dipicu reformasi pemilihan umum itu menewaskan enam orang, toko-toko dijarah, mobil dibakar dan meninggalkan jejak barikade di jalan yang membatasi akses pada obat-obatan dan makanan.

Baca Juga

Kantor dagang pulau itu mengatakan 150 perusahaan dijarah dan dibakar. Usai rapat kabinet, Selasa (21/5/2024) juru bicara pemerintah Prancis Prisca Thevenot mengatakan kunjungan Macron bertujuan menetapkan misi tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Sejumlah politikus meminta politisi veteran untuk ditunjuk sebagai mediator. Tapi Thevenot tidak mengatakan apakah Macron memiliki rencana untuk itu.

"Prioritas kami akan memulihkan ketenangan dan ketertiban," kata Thevenot.

Ia mencatat situasi di lapangan sudah membaik tapi masih banyak hal yang perlu dilakukan. Kerusuhan pecah pekan lalu yang dipicu kemarahan masyarakat pribumi Kanak atas amandemen konstitusi yang disetujui di Prancis.

Amandemen itu mengubah siapa yang diizinkan memberikan hak suara dalam pemilihan setempat. Pemimpin daerah khawatir perubahan ini akan melemahkan suara masyarakat Kanak.

Anggota kelompok komunitas yang memberikan bantuan sosial pada masyarakat Kanak, Viro Xulue mengatakan ia merasa kembali ke masa perang sipil tahun 1980-an dan masyarakat ketakutan.

"Kami sangat takut polisi, tentara Prancis, dan kami takut kelompok teroris milisi anti-Kanak," kata Xulue.

Tiga dari enam orang yang tewas merupakan pemuda Kanak yang ditembak warga sipil bersenjata. Terjadi konfrontasi antara pengunjuk rasa Kanak dan kelompok bersenjata atau milisi sipil yang dibentuk untuk melindungi diri mereka sendiri.

“Pemerintah Prancis tidak tahu bagaimana mengendalikan orang-orang di sini. Mereka mengirim lebih dari 2.000 tentara untuk mengendalikannya, namun gagal,” kata Xulue.

Partai-partai politik pro-kemerdekaan mengatakan mereka ingin pemerintah Prancis menarik reformasi pemilu sebelum mereka memulai kembali perundingan. Sementara Prancis mengatakan membangun kembali ketertiban adalah prasyarat untuk berdialog.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement