Rabu 22 May 2024 17:55 WIB

Turbulensi Pesawat Diprediksi Meningkat Seiring Perubahan Iklim, Apa Hubungannya?

Kasus turbulensi parah bukan berarti orang harus berhenti bepergian dengan pesawat.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Pesawat mengalami turbulensi (ilustrasi). Kasus turbulensi saat penerbangan diprediksi akan meningkat seiring memanasnya suhu Bumi akibat perubahan iklim.
Foto: www.freepik.com
Pesawat mengalami turbulensi (ilustrasi). Kasus turbulensi saat penerbangan diprediksi akan meningkat seiring memanasnya suhu Bumi akibat perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus turbulensi saat penerbangan diprediksi akan meningkat seiring memanasnya suhu Bumi akibat perubahan iklim. Perkiraan tersebut dipaparkan dalam sebuah studi yang sudah dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters.

Dikutip dari laman BBC, Rabu (22/5/2024), dalam studi itu, para ilmuwan di Reading University di Inggris mempelajari turbulensi udara jernih, yang lebih sulit dihindari oleh pilot. Peneliti menemukan bahwa turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen antara tahun 1979 dan 2020 di rute Atlantik Utara.

Baca Juga

Salah satu pemicu peningkatan tersebut kemungkinan adalah perubahan kecepatan angin di dataran tinggi akibat pemanasan udara yang disebabkan emisi karbon. Penelitian yang dilakukan selama satu dekade menunjukkan peningkatan turbulensi tersebut sudah dimulai.

Peneliti studi, profesor Paul Williams, menyarankan maskapai penerbangan berinvestasi dalam sistem prakiraan dan deteksi turbulensi yang lebih baik. Hal itu guna mencegah terjadinya penerbangan yang lebih berguncang dalam beberapa dekade mendatang.

Mendeteksi turbulensi juga bisa menghindarkan konsekuensi finansial. Sebagai gambaran, industri penerbangan AS mengalami kerugian antara 150 juta hingga 500 juta dolar AS (sekitar Rp 2,4 triliun sampai 8,02 triliun) setiap tahunnya akibat dampak turbulensi, khususnya kondisi kerusakan pada pesawat. Turbulensi juga bisa menimbulkan dampak lingkungan, karena pilot menggunakan lebih banyak bahan bakar untuk menghindarinya.

Williams yang merupakan ilmuwan atmosfer di University of Reading mengatakan peningkatan turbulensi yang paling besar diprediksi terjadi pada rute penerbangan di Amerika Serikat dan Atlantik Utara. Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga berpotensi mengalami peningkatan turbulensi yang signifikan.

Peningkatan turbulensi dapat dipicu pergeseran angin yang lebih besar atau perbedaan kecepatan angin dalam aliran jet, sistem angin kencang yang bertiup dari barat ke timur, sekitar lima hingga tujuh mil di atas permukaan Bumi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan suhu antara garis khatulistiwa dan kutub.

Meskipun satelit tidak dapat melihat turbulensi, perangkat itu dapat melihat struktur dan bentuk aliran jet sehingga memungkinkan untuk dianalisis. Radar dapat mendeteksi turbulensi badai, namun turbulensi udara jernih hampir tidak terlihat dan sulit dideteksi.

Menurut Williams, adanya kasus turbulensi parah dan ekstrem bukan berarti membuat semua orang harus berhenti bepergian menggunakan pesawat terbang karena takut. Sebagai langkah antisipasi, selalu kenakan dan kencangkan sabuk pengaman. "Itu hampir merupakan jaminan bahwa Anda akan aman, bahkan dalam turbulensi terburuk sekali pun," ujarnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement