REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Petugas media Izedine Lulu sedang berada di Rumah Sakit al-Shifa di Gaza ketika ia mendengar Israel mengebom rumah keluarganya November lalu. Saudara laki-laki, saudara perempuan, dan ayahnya wafat.
Petugas medis berusia 21 tahun itu tidak dapat menemukan jenazah mereka karena tank-tank dan penembak jitu Israel mengepung al-Shifa. Ia hanya bisa merawat pasien-pasiennya yang masih hidup dan sudah meninggal.
"Delapan pasien di (unit gawat darurat) meninggal di depan mata saya. Itu pertama kalinya saya menguburkan orang di (dalam) rumah sakit," katanya pada Aljazirah, Kamis (23/5/2024).
"Tidak ada bantuan untuk petugas medis di Gaza, tapi saya pikir sudah menjadi tugas kami untuk terus bekerja. Kami harus tetap berada di dalam rumah sakit," kata Lulu yang kini bertugas di Rumah Sakit al-Ahli.
Lulu satu dari ratusan petugas medis Palestina dan asing yang terjebak di zona perang. Setelah Israel menguasai perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir pada awal bulan ini, perbatasan itu satu-satunya jalan keluar dari Gaza.
Semakin intensifnya serangan Israel di seluruh kantong permukiman itu mendorong personel medis asing keluar dari Gaza. Sementara yang tersisa mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkan para korban perang.
Kementerian Luar Negeri Gaza mengatakan jumlah korban jiwa dalam serangan Israel ke kantong pemukiman itu sejak Oktober lalu sudah mencapai 35.800 orang. Termasuk 91 orang yang dilaporkan gugur dalam 24 jam terakhir.
Kementerian menambahkan sejauh ini serangan-serangan Israel melukai 80.011 orang. Sementara ribuan orang lainnya masih dinyatakan hilang di bawah puing-puing bangunan yang dihancurkan Israel dan diyakini sudah meninggal.