Jumat 24 May 2024 11:28 WIB

Pembenahan Distribusi Rp 665 Triliun Anggaran Pendidikan Dinilai Mendesak

Distribusi anggaran pendidikan dari APBN dinilai terlalu luas persebarannya.

Red: Mas Alamil Huda
Aksi unjuk rasa di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (19/1/2023). Aksi solidaritas ini buntut meninggalnya mahasiswa UNY, Nur Riska yang berjuang meminta keringanan UKT.
Foto: Republika/Havid Al Vizki
Aksi unjuk rasa di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (19/1/2023). Aksi solidaritas ini buntut meninggalnya mahasiswa UNY, Nur Riska yang berjuang meminta keringanan UKT.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Beberapa elemen mahasiswa memprotes pernyataan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ketika rapat dengar pendapat dengan DPR terkait uang kuliah tunggal (UKT). Legislator Komisi X pun menilai, pembenahan distribusi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN mendesak dilakukan sebagai upaya menyelesaikan substansi permasalahan. 

“Kami menilai wajar jika mahasiswa masih belum puas dengan pernyataan dari Mas Menteri (Nadiem) terkait polemik UKT karena terbatasnya ruang fiskal yang dimiliki Kemendikbudristek. Maka dalam hemat kami perlu ada pembenahan distribusi mandatory spending anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dalam RAPBN mendatang,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Jumat (24/5/2024). 

Baca Juga

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro dan Universitas Jenderal Soedirman menilai sejumlah pernyataan Nadiem Makarim terkait kisruh UKT saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI tidak mencerminkan fakta di lapangan. Di antaranya bahwa tidak ada mahasiswa yang gagal kuliah akibat tidak mampu membayar UKT dan tidak ada dampak kenaikan UKT  bagi masyarakat menengah ke bawah. Presiden terpilih Prabowo Subianto juga ikut bicara terkait UKT di mana menurutnya uang kuliah di PTN harus semurah-murahnya. 

Huda mengatakan, distribusi anggaran pendidikan dari APBN sebagai mandatory spending terlalu luas persebarannya sehingga menyulitkan proses pengawasan. Kondisi ini memicu rendahnya efektifitas anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dalam memberikan layanan pendidikan yang murah dan berkualitas bagi masyarakat dari semua kalangan.