Senin 27 May 2024 14:26 WIB

Menengok Museum Maritim Pertama di Negeri Tirai Bambu

Quanzhou juga termasuk pintu gerbang utama bagi pertukaran ekonomi-budaya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Setyanavidita livicansera
Suasana di Museum Maritim Quanzhou, Provinsi Fujian, Cina. Museum tersebut merupakan museum maritim pertama di Negeri Tirai Bambu.
Foto: Republika/Kamran Dikarma
Suasana di Museum Maritim Quanzhou, Provinsi Fujian, Cina. Museum tersebut merupakan museum maritim pertama di Negeri Tirai Bambu.

REPUBLIKA.CO.ID, QUANZHO -- Pada 1345, penjelajah Muslim tersohor, Ibnu Battuta, menginjakkan kakinya di Quanzhou, Cina. Kala itu kota Quanzhou dikenal dengan nama Zayton. Penamaan tersebut diyakini karena pada masanya banyak kapal pengangkut zaitun berlabuh di Quanzhou. 

"Pelabuhan Zayton masuk di antara yang terbesar di dunia, atau bahkan yang terbesar," tulis Ibnu Battuta dalam catatan perjalanannya. Kutipan Ibnu Battuta tersebut dipampang di Museum Maritim Quanzhou, Provinsi Fujian, Cina. Pada Kamis (23/5/2024) lalu, saya, bersama 20 jurnalis lain dari kawasan Asia-Pasifik yang sedang mengikuti program China International Press Center (CIPC) 2024, diajak mengunjungi museum maritim pertama di Negeri Tirai Bambu tersebut. 

Baca Juga

Menurut saya, Museum Maritim Quanzhou menawarkan pengalaman tak membosankan bagi para pengunjungnya yang hendak belajar sejarah kota pesisir Quanzhou. Sebab museum tersebut tak hanya menampilkan artefak, tapi turut menyuguhkan animasi yang menggambarkan kehidupan di Quanzhou pada silam, termasuk kesibukan Jalur Sutra Maritim. 

Begitu melewati pintu masuk, selain kutipan Ibnu Battuta, pengelola museum juga memampang catatan penjelajah Italia, Marco Polo, ketika berkunjung ke Quanzhou. "Di kota ini Anda harus tahu adalah Surga Zayton, yang membawa rempah-rempah dan segala jenis barang mahal lainnya ke sana," demikian kutipan Marco Polo yang dipatri di dinding museum. 

Terkait catatan Marco Polo, pada abad ke-10 hingga ke-14, Quanzhou memang merupakan pusat perdagangan yang berkembang pesat di pantai tenggara Cina. Ia pun berfungsi sebagai terminal timur dari jaringan perdagangan maritim Asia yang kala itu sedang mendapatkan momentumnya.

Quanzhou juga termasuk pintu gerbang utama bagi pertukaran ekonomi-budaya antara dinasti Song-Yuan dan dunia luar. Sementara itu Museum Maritim Quanzhou didirikan pada 1959. Terdapat empat ruang pameran di atas lahan seluas 11 ribu meter persegi. Ruang pameran pertama disebut "the Overseas Communication History Exhibition Center".

Pameran ini memberikan gambaran tentang perdagangan luar negeri Quanzhou selama 2.000 tahun terakhir. Salah satu yang disorot adalah keberhasilan perjalanan pelaut Cina Zhen He ke Samudra Hindia, yang mencerminkan kemakmuran usaha luar negeri Cina selama Dinasti Ming (1368-1644 Masehi).

Sejak masa lampau, Quanzhou telah menjadi tempat perpaduan budaya dan agama. Ruang "the Quanzhou Religious Sculpture Exhibition Center" di Museum Maritim Quanzhou memperlihatkan hal tersebut. Di ruang itu ditampilkan berbagai struktur arsitektur, batu nisan, serta tablet yang berkaitan dengan Islam, Kristen, Hindu, dan Manikheisme.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah sebuah batu nisan dari makam seorang muslim bernama Ahmad Khwaja Hakiim al-Din. Pada batu nisan berhuruf Arab tersebut diterangkan bahwa Ahmad meninggal di Zayton (Quanzhou), tepatnya tanggal 25 bulan kesembilan tahun Xinyou Zhizhi dari Dinasti Yuan. Batu nisan tersebut ditemukan di area luar Gerbang Tonghuai, Quanzhou, pada 1956.

Penemuan batu nisan Ahmad menjadi bukti bahwa pada masa lampau telah terdapat komunitas Muslim yang bermukim di Quanzhou. Salah satu masjid tertua di Cina diketahui turut berada di Quanzhou, yakni Masjid Qingjing atau Masjid al-Ashab. Masjid yang memiliki gaya arsitektur Arab itu dibangun pada era Dinasti Song tahun 1009.

Sementara itu, di ruangan “the Ancient Chinese Sailboats Models Exhibition Center” para pengunjung dapat melihat model-model kapal kuno yang digunakan dalam ekspedisi pada masa silam. Di ruangan tersebut, terdapat pula sebuah bangkai kapal kayu yang dibangun pada abad ke-13 dengan panjang 24,2 meter dan lebar 9,2 meter. Badan kapal terdiri dari 13 kompartemen kedap air. 

Jika direnovasi seperti semula, panjang kapal diperkirakan mampu mencapai 34 meter, lebar 11 meter, dan berat lebih dari 200 ton. Terdapat sejumlah peninggalan yang ditemukan di bangkai kapal tersebut. Mereka antara lain obat-obatan, koin tembaga dan besi, barang pecah belah, serta tembikar.

Kunjungan ke Museum Maritim Quanzhou menorehkan kesan bermakna bagi para jurnalis Asia-Pasifik yang menjadi peserta CIPC 2024. Sebab museum tersebut memberikan gambaran jelas tentang perdagangan luar negeri Quanzhou selama 2.000 tahun terakhir, termasuk dengan sejumlah negara di Asia.

Sebagai titik awal Jalur Sutra Maritim, Quanzhou memiliki peran signifikan dalam perdagangan luar negeri dan aktivitas pertukaran Cina pada masa silam. Sejarah Quanzhou merupakan bagian penting dari warisan komunikasi luar negeri Negeri Tirai Bambu. Museum Maritim Quanzhou, dalam pandangan saya, cukup berhasil menggambarkan tentang hal tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement