REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Al-Quddus adalah salah satu asma' Allah. Dalam Alquran, kata Al-Quddus (atau Yang Mahasuci), sering didampingkan dengan kata Al-Malik (Raja atau Penguasa).
Misalnya dalam QS Al-Hasyr ayat 23 dan Al-Jumuah ayat 1. Allah SWT berfirman:
اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Mahamemelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS al- Hasyr ayat 23).
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QQS Al-Jumuah ayat 1).
Dalam kamus Bahasa Arab, Al-Quddus adalah yang suci murni atau yang penuh keberkatan. Dari sini muncul berbagai penafsiran dari kata Al-Quddus, di antaranya terpuji dari segala macam kebajikan.
Imam Al-Ghazali mengatakan, Allah SWT sebagai Al-Quddus adalah Dia yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat dikhayalkan oleh imajinasi, dan tidak dapat diduga oleh lintasan nurani. Demikian sempurnanya Allah SWT.
Dia tidak terkejar Bentuk dan Dzat-Nya oleh kekuatan indera. Indera kita terlalu lemah untuk menjangkau keagungan Allah yang menggenggam alam semesta ini.
Mahasuci Allah dari beranak dan diperanakan. Bagi umat Islam, Allah tidak diserupai dan menyerupai apapun (laisa kamitslihi syai'un). Jadi, kalau ada yang menganggap Allah itu menyerupai sesuatu, maka pendapat itu tidak bisa diterima. Karena sesuatu itu pasti makhluk, dan setiap makhluk pasti ada kelemahan. Apalagi menyerupakan Allah dengan manusia.
Mahasuci Allah secara zat dan perbuatan-Nya. Tidak ada satupun perbuatan Allah yang cacat atau gagal. Mengatakan cacat dan gagal pada perbuatan Allah pun tidak layak. Allah tidak mungkin berbuat sesuatu yang gagal. Mahasuci Allah dari yang dianggap sempurna oleh makhluk. Manusia punya standar kesempurnaan. Namun, sesempurna apapun dalam pandangan manusia, pasti tidak menjangkau kesempurnaan Allah yang sesungguhnya.
Akal manusia terbatas. Ia hanya mengenal 26 abjad dan sepuluh angka. Bagaimana mungkin kita yang serba terbatas bisa menilai kesempurnaan Allah, Dzat Penggenggam langit dan bumi? Hikmah apa yang bisa kita diambil dari sifat Al-Quddus ini?
Pertama, kita bisa menikmati apapun ketetapan Allah tanpa prasangka buruk. Allah telah berjanji, "Aku sesuai prasangka hamba-Ku". Berburuk sangka kepada Allah akan menjadi malapetaka bagi kita. Kita harus tetap khusnudzan, pasti ada hikmah di balik setiap kejadian. Maka, nikmatilah setiap kejadian sebagai sarana evaluasi diri. Yang terpenting, kejadian apapun yang menimpa harus mengubah kita menjadi lebih baik.
Kedua, siap dengan ketidaksempurnaan diri. Apa yang kita banggakan sebagai manusia bila tanpa iman? Kita serba kalah oleh binatang. Masuk ke air, ikan lebih lincah. Meski kita bisa menjadi pelari tercepat, masih kalah cepat dari kuda.
Manusia pun masih kalah kuat dengan badak, kalah besar dari gajah. Hanya kekuatan imanlah yang membuat kita lebih tinggi dari makhluk apapun. Mari kita tutup pintu kesombongan diri dan bukalah lebar-lebar pintu ketawadhuan. Sebab, tiadalah orang yang rendah hati, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya.
Ketiga, siap dengan kekurangan orang lain. Kita harus siap menghadapi kenyataan bahwa orang terdekat kita (khususnya pasangan hidup) tidak sempurna. Secara fisik mungkin mendekati kesempurnaan, tapi akhlak tidak ada yang sempurna. Ada yang pemarah, pelit, atau egois. Kita harus terlatih menghadapi orang-orang terdekat kita, baik pasangan hidup, orangtua, anak maupun pembantu di rumah.
Kesiapan mental dalam menerima kekurangan dan keterbatasan orang lain, insya Allah akan membuat kita lebih mampu bersikap bijaksana. Orang yang stres dalam hidup adalah orang yang selalu ingin sempurna dalam segala hal.
Ingin yang terbaik boleh, tapi ingin sempurna tidak pernah ada. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Memang kita harus melakukan perencanaan yang matang, persiapan yang optimal, dan pelaksanaan yang hati-hati, tapi kita harus siap pula bahwa hasil yang dicapai tidak akan pernah sempurna.
*Naskah KH Abdullah Gymnastiar terbit di Harian Republika.