REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menerima nota keberatan (eksepsi) mantan Hakim Agung Gazalba Saleh dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"Majelis Hakim mengadili, mengabulkan nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Gazalba Saleh," kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dalam sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/5/2024).
Fahzal menjelaskan salah satu alasan Majelis Hakim mengabulkan nota keberatan Gazalba, yakni tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai asas single prosecution system (sistem penuntutan tunggal).
Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU dalam kasus Gazalba Saleh, sehingga penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum KPK tidak dapat diterima.
Untuk itu, Majelis Hakim memerintahkan Gazalba dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan sela diucapkan serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Namun Fahzal menegaskan, putusan sela yang diberikan Majelis Hakim tidak masuk kepada pokok perkara atau materi, sehingga apabila Jaksa Penuntut Umum KPK sudah melengkapi administrasi pendelegasian wewenang penuntutan dari Kejaksaan Agung, maka sidang pembuktian perkara bisa dilanjutkan.
"Jadi tidak masuk ke materi apa terdakwa Gazalba salah atau tidak, tidak sampai ke situ. Ini hanya syarat dari tuntutan, mempertimbangkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Agung RI," tuturnya.
Sebelumnya dalam nota keberatan, penasihat hukum Gazalba Saleh mengatakan alasan eksepsi diajukan lantaran penuntut umum pada KPK tidak menerima pendelegasian wewenang dari Kejaksaan Agung.
Dengan begitu, berdasarkan asas sistem penuntutan tunggal dan dominus litis, penasihat hukum Gazalba menilai hanya Jaksa Agung yang berwenang melakukan penuntutan dan sebagai penuntut umum tunggal, sehingga pengendalian seluruh penuntutan perkara pidana merupakan kewenangan Jaksa Agung.
Selain itu, eksepsi diajukan penasihat hukum Gazalba karena uraian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK tidak lengkap, tidak jelas, dan tidak cermat, sehingga melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Uraian yang dinilai penasihat hukum tidak jelas dalam dakwaan, yaitu terkait sumber uang yang digunakan dalam pembelian mobil serta peran pihak yang didakwa bersama-sama Gazalba.
Adapun dalam kasus tersebut, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan TPPU senilai Rp 25,9 miliar selama kurun waktu 2020 hingga 2022.
Dakwaan gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba senilai Rp200 juta terkait pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad di Mahkamah Agung (MA) yang mengalami permasalahan hukum soal pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada 2017.
Untuk TPPU senilai Rp25,7 miliar, Gazalba didakwa menggunakan uang hasil gratifikasi dan penerimaan lain dengan membelanjakannya dengan identitas dan nama orang lain.
Atas dakwaan gratifikasi, Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara atas dakwaan TPPU, Gazalba terancam pidana Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.