Selasa 28 May 2024 13:19 WIB

Kebijakan Tapera, Pemerintah Diminta Perhatikan Kelas Menengah, Gen Z, dan Pekerja Mandiri

Kebijakan ekonomi Jokowi saat ini disebut cenderung melupakan kelas menengah.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
kover buku tapera
Foto: Erdy Nasrul/Republika
kover buku tapera

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Anggota Komisi V Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Suryadi Jaya Purnama merespons soal diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat oleh pemerintah. Salah satu yang jadi catatannya yakni terkait golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah, misalkan sudah telanjur membelinya atau dari warisan orang tua, tapi masih juga diwajibkan untuk ikut program ini.

Dalam aturan PP Nomor 25/2020 disebutkan bagi Peserta non-masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), maka uang pengembalian Simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama lima tahun berturut-turut. Dirinya mengusulkan agar golongan kelas menengah ini dapat dibantu untuk dapat membeli properti yang produktif seperti misalnya ruko dan sebagainya. Sehingga dengan demikian akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas menengah.

"Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023, menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah. Padahal, pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang," kata Suryadi dalam keterangannya.

Suryadi juga mendorong agar kelas menengah juga diperhatikan. Di satu sisi, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR, sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi. Namun, di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi, sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera. Ia juga meminta agar kelas menengah tanggung seperti Generasi Milenial dan Gen Z saat ini lebih khusus lagi diperhatikan.  

"Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah," ungkapnya. 

Selain itu terkait Pekerja Mandiri yang pendapatannya tidak tetap, kadang cukup, kadang kurang, bahkan tidak ada penghasilan sama sekali.  Menurutnya iuran untuk Pekerja Mandiri perlu diatur oleh BP Tapera secara bijaksana dan perlu diklasifikasikan dengan baik agar tidak memberatkan para Pekerja Mandiri.

Kemudian Suryadi juga memberi catatan terkait penyediaan rumah untuk MBR. Terdapat Kepmen PUPR No. 242/KPTS/M/2020 yang mengatur batasan maksimal penghasilan MBR pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga) dan SSM (Subsidi Bantuan Uang Muka), yaitu maksimal Rp 8 juta per bulan. 

 
"Hal ini perlu dikaji lebih dalam apakah batasan ini perlu ditingkatkan mengingat saat ini masih banyak rumah bersubsidi yang terbengkalai karena tidak diserap oleh masyarakat," tuturnya.

Suryadi juga meminta adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Tapera sejak tahun 2020 berdasarkan PP Nomor 25/2020, apakah Peserta Tapera yang MBR memang mengambil jatahnya untuk membeli rumah. Selain itu juga perlu dievaluasi apakah Peserta non-MBR yang sudah pensiun dan ingin mencairkan Tapera tidak mengalami prosedur yang rumit dan berbelit, terutama yang berdomisilinya di daerah.

Terakhir, dirinya menyoroti bahwa proses pemupukan atau pengembangan dana Tapera ini harus diawasi secara ketat. Dirinya mendesak agar pemilihan manajer investasi pada BP Tapera yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan dana Tapera ini harus transparan dan akuntabel dan diawasi secara ketat. 

 
"Hal ini diperlukan agar dana Tapera tidak mengalami penyalahgunaan seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri, dan tidak dimasukkan dalam proyek-proyek yang berisiko tinggi seperti proyek IKN atau jangan sampai dialokasikan ke program pemerintah lainnya," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement