REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Dua staf Rumah Sakit Spesialis Kuwait di Rafah, Gaza gugur dalam serangan udara Israel. Sebelumnya dilaporkan, serangan udara terbaru Israel ke Rafah menimbulkan kebakaran dan membunuh 45 orang.
Dokter bedah tulang Mohammed Tahir yang baru saja pulang ke Inggris usai menjadi sukarelawan di Rafah menggambarkan situasi di rumah sakit tersebut.
"Saya baru saja menutup telepon beberapa rekan saya yang bekerja (di dalam Gaza) dan mereka ditembaki dengan artileri dan diserang dengan kuadkopter, mereka takut kehilangan nyawa," kata Tahir seperti dikutip dari Aljazirah, Selasa (28/5/2024).
"Situasinya mengerikan. Ini di Tal as-Sultan, yang terletak di barat Rafah. Daerah ini belum dievakuasi dan mengalami serangan yang sangat-sangat keras saat kita sedang berbicara."
"Rumah sakit Kuwait sudah dievakuasi, ini rumah sakit utama dan pindah ke rumah sakit al-Mawasi, di sana ada rumah sakit lapangan, yang belum siap. Sementara kuadkopter membatasi pergerakan ambulans, jadi orang-orang yang terluka tidak dapat menerima bantuan," tambahnya.
Tahir mendesak masyarakat internasional berbuat lebih banyak untuk menghentikan serangan Israel ke Rafah. Kota paling selatan Jalur Gaza ini sempat menjadi tempat perlindungan terakhir pengungsi dari daerah-daerah lain.
"Kita harus mengizinkan personel medis masuk Gaza. Kita harus mengizinkan pasokan medis masuk Gaza. Rumah sakit-rumah sakit akan kehabisan obat-obatan yang sangat penting dan bahan bakar untuk beroperasi, jadi di sana situasinya sangat buruk dan saya mendesak mohon masyarakat internasional untuk bertindak," katanya.
Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA) melaporkan sejak Israel mulai serangan ke Rafah 6 Mei lalu lebih dari satu juta orang mengungsi dari utara dan selatan Jalur Gaza. Pertempuran terjadi di kamp pengungsian Jabalia di selatan Kota Gaza, serta di daerah Nuseirat di Gaza tengah dan di Deir el-Balah serta timur dan tengah Rafah di selatan.
OCHA mengatakan karena pembatasan yang diberlakukan Israel, fasilitas medis badan bantuan pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA) belum menerima pasokan obat-obatan selama 12 orang. Terutama pasokan antibiotik untuk anak-anak dan obat anti-epilepsi.
“Lebih dari lima persen penduduk Gaza terbunuh, terluka, atau hilang. Sedikitnya 3.000 wanita diperkirakan menjadi janda, 10.000 anak menjadi yatim piatu, 17.000 anak tidak memiliki orang tua atau terpisah dari orang tuanya, dan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal,” kata OCHA.