Rabu 29 May 2024 15:36 WIB

Ekonom Indef: Tapera Berpotensi Turunkan Daya Beli Masyarakat

Iuran Tapera dinilai merugikan para pemberi kerja dan juga penerima kerja.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Indef
Foto: indef.or.id
Indef

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan iuran Tapera akan merugikan para pemberi kerja dan juga penerima kerja. Hal ini membebani pekerja dan pemberi kerja karena sebagian uang yang dipotong yakni 2,5 persen gaji ditanggung pekerja dan 0,5 persen dibebankan kepada pemberi kerja.

"Sehingga uang yang diterima pekerja (disposable income) semakin kecil," ujar Eisha kepada Republika di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Baca Juga

Eisha mengatakan hal ini membuat pemberi kerja memiliki beban biaya tambahan yang harus dikeluarkan ketika mempekerjakan pegawai. Eisha menyebut kebijakan ini dapat menciptakan dampak negatif bagi perekonomian nasional. 

"Ketika disposable income masyarakat turun, maka akan memengaruhi konsumsi masyarakat," ucap Kepala Center of Digital Economy and SMEs Indef tersebut. 

Eisha menilai kebijakan ini sangat tidak tepat untuk saat ini. Pasalnya, Indonesia tengah menghadapi tekanan inflasi yamg tinggi. 

Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat  memengaruhi daya beli masyarakat. Menurut Eisha, penurunan konsumsi masyarakat tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 

"Di satu sisi, Tapera juga memengaruhi tabungan masyarakat, dapat meningkatkan investasi, tetapi secara keseluruhan, dampak akhirnya harus dilihat, apakah kenaikan investasi akan lebih tinggi dibandingkan penurunan konsumsi," sambung Eisha. 

Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB itu menyebut persoalan utama terkait Tapera ialah kepercayaan masyarakat terhadap dana kelolaan tabungan tersebut. Eisha menilai kepercayaan masyarakat akan pengelolaan dana oleh pemerintah menjadi pekerjaan rumah tersendiri. 

"Diperlukan transparansi bagaimana dana tersebut dikelola dan mekanismenya," lanjut Eisha. 

Eisha mengatakan backlog perumahan pada 2023 tercatat sejumlah 12 juta rumah atau lebih banyak dari 2022 yang sebanyak 11 juta rumah. Eisha mengatakan 93 persen backlog rumah merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan pekerja informal sebesar 60 persen. 

Eisha menyampaikan iuran Tapera bukan jawaban solutif dalam menyelesaikan persoalan backlog. Eisha mengatakan terdapat sejumlah faktor dalam backlog perumahan, mulai dari suplai dan permintaan, ketersediaan lahan, harga tinggi, spekulasi, hingga regulasi. 

"Sehingga Tapera ini belum tentu efektif menyelesaikan masalah backlog. Namun, rasanya kurang pas jika negara memaksa pihak swasta untuk ikut dalam program Tapera tersebut," kata Eisha. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement