Kamis 30 May 2024 06:33 WIB

Permendikbudristek 2024 tidak Dicabut, Kenaikan UKT Masih Mungkin Terjadi

Pengamat menyebut UKT dan IPI habiskan 60 persen anggaran rumah tangga

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji melihat pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang dilakukan Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak permanen
Foto: ANTARA/Astrid Faidlatul Habibah
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji melihat pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang dilakukan Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak permanen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Indra Charismiadji melihat pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang dilakukan Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak permanen. Sebab, Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024 yang menjadi pangkal persoalan tak dicabut sehingga masih memberi ruang untuk kenaikan UKT.

"Ini bukan dibatalkan, tapi kita ini diprank ditunda sampai tahun depan," kata Indra kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Dia juga mengatakan, dengan besaran UKT dan juga iuran pembangunan institusi (IPI) yang ada saat ini, maka akan banyak orang terbebani. Menurut dia, rata-rata pendapatan orang Indonesia berada pada Rp 65-75 juta dalam satu tahun.

Bahkan, tambah dia, tak sedikit yang berpenghasilan per tahunnya di bawah itu. Dia mengatakan, masih banyak yang menerima gaji di bawah Rp 5 juta per bulannya. Dengan besaran UKT dan IPI yang bisa mencapai Rp 40 juta per tahun, maka itu akan memberatkan.

"Ini artinya 60 persen dari pendaptan itu sudah hilang untuk satu anak," jelas Indra.

Dengan perhitungan itu, dia menilai semakin jelas jika kebijakan menaikkan UKT dan penetapan IPI saat ini tak memiliki kajian yang matang. Kebijakan UKT maupun IPI juga dia sebut tak memiliki dasar yang jelas.

"Kebijakan tidak punya dasar teknokratik, tidak ada kajiannya dulu. Problem ini terjadi karena dunia pendidikan salah kelola," jelas dia.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengatakan, pemerintah tidak bisa menjadikan ketersediaan dana sebagai patokan dalam memberikan pendidikan. Meski kesulitan, pendidikan di jenjang apapun mesti diberikan kepada rakyat.

"Apablia negara mengalami kesulitan uang, dia tetap harus bisa bagaimana mendidik rakyatnya," kata eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu.

Diketahui, anggaran pendidikan, khususnya untuk pendidikan tinggi disebut masih minim. Hal itu pula yang membuat pemerintah tak mampu menekan biaya pendidikan tinggi.

Pemerintah saat ini baru bisa memprioritaskan wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar dan mnengah. Belum ada prioritas pendanaan untuk pendidikan tinggi karena dana negara tidak mencukupi.

Melihat itu, Sudirman menyatakan tak semestinya pendidikan dibebankan kepada orang tua. Sebaliknya, negara seharusnya mau untuk berinvestasi pada bidang pendidikan, suatu investasi yang tidak pernah salah.

"Dan investasi yang tidak pernah salah itu ada di pendidikan. Alangkah indahnya kalau kebijakan pemerintah ini bisa mengatasi kesulitan para ibu yang ingin anaknya maju dan dapat pendidikan terbaik," tutur dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement