REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebuah studi terbaru menemukan bahwa perubahan iklim dapat berdampak buruk pada perekonomian negara dalam jangka panjang. Demikian menurut studi yang diterbitkan oleh Federal Reserve Bank of San Francisco.
“Temuan kami menunjukkan bahwa dalam skenario tanpa upaya skala besar untuk mengurangi emisi karbon, peningkatan panas ekstrem di masa depan akan mengurangi stok modal di AS sebesar 5,4 persen dan konsumsi tahunan sebesar 1,8 persen pada 2200,” kata para peneliti seperti dilansir Reuters, Rabu (29/5/2024).
Para peneliti menggunakan perkiraan terbaik para ilmuwan untuk jumlah hari per tahun di mana bekerja di luar ruangan akan menyebabkan heat stress, yang diperkirakan meningkat dari 22 hari pada tahun 2020 menjadi 80 hari pada tahun 2100.
Mereka kemudian memproyeksikan kemungkinan penurunan produktivitas tenaga kerja di bidang konstruksi, di mana -tidak seperti kebanyakan sektor jasa dan manufaktur- pendingin ruangan tidak dapat mengatasi dampak dari hari yang panas.
Mereka berfokus pada konstruksi karena sektor ini menyumbang lebih banyak dari keseluruhan output ekonomi dan investasi AS dibandingkan sektor lain seperti pertanian atau pertambangan yang pekerjanya juga rentan terhadap panas.
“Penurunan produktivitas konstruksi memperlambat akumulasi modal dan oleh karena itu memiliki efek jangka panjang terhadap hasil-hasil ekonomi makro,” kata Stephie Fried, seorang ekonom senior di Fed San Francisco, dan rekan penulis Gregory Casey dan Matthew Gibson.
Dengan menggunakan skenario alternatif yang lebih kecil kemungkinannya, di mana jumlah hari dengan suhu panas ekstrem meningkat menjadi 125 hari pada tahun 2100, peneliti menemukan konsekuensi yang jauh lebih besar dari penurunan produktivitas konstruksi, dengan akumulasi modal diproyeksikan turun sebesar 18 persen dan konsumsi sebesar 7 persen pada tahun 2200.