REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arys Hilman Nugraha menyatakan, tak semua karya sastra yang saat ini beredar cocok untuk anak-anak dan pelajar. Sebab itu, diperlukan proses kurasi yang melibatkan praktisi dan ahli di bidang pendidikan, perbukuan, hingga psikologi anak.
"Proses kurasi ini seharusnya tidak hanya melibatkan sastrawan tetapi juga para praktisi dan ahli, misalnya di bidang pendidikan, perbukuan, dan psikologi anak," jelas Arys kepada Republika, Kamis (30/5/2024).
Dia menilai, pemuatan disclaimer dalam 'Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra' bukanlah cara yang tepat untuk membuat sekolah-sekolah dapat menyeleksi buku dengan benar. Sebab itu, kata dia, buku panduan yang telanjur beredar dan memicu kegaduhan itu sebaiknya cepat ditarik oleh Kemendikbudristek.
"Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra telanjur beredar dan memicu kegaduhan. Sebaiknya Kemendibudristek secepatnya menyatakan penarikan panduan tersebut," kata dia.
Dari sana, langkah selanjutnya yang harus dilakukan bukan sekadar memperbaiki daftar buku dan prosedur perekomendasian, melainkan memulai benar-benar dari awal kembali program tersebut. Di mana dalam prosesnya melibatkan tim yang lebih lengkap yang mencakup pula para ahli di bidang pendidikan, perbukuan, dan psikologi anak.
"Keterlibatan para ahli tersebut justru ada dalam peraturan yang diterbitkan Kemendikbudristek terkait buku untuk pendidikan. Tapi tampaknya program Sastra Masuk Kurikulum tidak menggunakan regulasi tersebut," terang Arys.
Dia menjelaskan, peraturan tentang buku-buku yang boleh dipakai oleh sekolah adalah Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar Mutu Buku, Standar Proses dan Kaidah Pemerolehan Naskah, dan Standar Proses dan Kaidah Penerbitan Buku.
Ada juga aturan lainnya, yakni Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2022 tentang Penilaian Buku Pendidikan; Peraturan Kepala BSKAP Nomor 030/P/2022 tentang Pedoman Perjenjangan Buku; dan Peraturan Kepala BSKAP Nomor 039/H/P/2022 tentang Pedoman Penilaian Buku Pendidikan.
Arys juga melihat selama ini memang ada kesenjangan antara buku yang tersedia di sekolah dan buku-buku bermutu, best seller, dan menarik minat baca yang ada di toko-toko buku. Tapi, sumber kesenjangan bukan pada pilihan buku atau ketiadaan rekomendasi.
"Tapi pada kebijakan HET dari Kemendikbudristek yang membuat penerbit yang bukunya beredar di pasar enggan memasukkan buku tersebut ke sekolah-sekolah," jelas dia.
Soal buku rekomendasi, Kemendikbudristek menyatakan, buku-buku yang direkomendasikan di dalam program Satra Masuk Kurikulum sama sekali tidak diwajibkan untuk digunakan di kelas. Buku-buku yang dinilai bermuatan vulgar pun sangat mungkin untuk dikeluarkan dari daftar tersebut.
"Memungkinkan untuk dicabut, ini menjadi masukan yang dibahas oleh tim kurator dalam memilih buku," jelas Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo kepada Republika, Rabu (29/5/2024).
Pria yang kerap disapa Nino itu menjelaskan, daftar rekomendasi buku sastra dalam program Sastra Masuk Kurikulum merupakan dokumen hidup yang dapat berkembang seiring waktu dan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya agar semakin banyak karya sastra yang dapat menjadi bahan ajar di sekolah sebagai salah satu cara meningkatkan minat baca dan budaya literasi.
"Kemendikbudristek terbuka terhadap saran, masukan, dan usulan dari masyarakat yang dapat disampaikan melalui laman buku.kemdikbud.go.id. Usulan dari masyarakat akan dikurasi sesuai kriteria pemilihan yang telah ditentukan," jelas Nino.
Menurut dia, daftar karya sastra dalam program Sastra Masuk Kurikulum telah melalui proses kurasi dengan kriteria yang dirumuskan tim kurator. Proses kurasi dilakukan oleh tim kurator yang terdiri dari sastrawan, akademisi, dan guru. Daftar itu tidak mewajibkan guru menggunakan buku-buku tersebut.