REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden China Xi Jinping mengatakan China akan memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Gaza sekaligus membantu rekonstruksi pasca-perang senilai 500 juta yuan (sekitar Rp1,18 triliun).
"Selain bantuan kemanusiaan darurat sebesar 100 juta yuan (sekitar Rp223 miliar) sebelumnya, China akan memberikan bantuan tambahan sebesar 500 juta yuan (sekitar Rp1,18 triliun) untuk membantu meringankan krisis kemanusiaan di Gaza dan mendukung rekonstruksi pasca-konflik," kata Xi Jinping di Wisma Negara Diaoyutai, Beijing, China pada Kamis (30/5/2024).
Presiden Xi menyampaikan hal tersebut dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Menteri ke-10 Forum Kerja Sama Negara-Negara Arab yang digelar di Beijing dan dihadiri empat kepala negara dari kawasan Timur Tengah. Keempat kepala negara itu adalah Raja Bahrain Hamad bin Isa bin Salman Al Khalifa, Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, Presiden Tunisia Kais Saied, Presiden Uni Emirat Arab (UAE) Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Sekretaris Jenderal Liga Arab Gheit dan 22 perwakilan delegasi Arab.
Timur Tengah, menurut Xi Jinping, merupakan negara yang mempunyai prospek pembangunan yang luas, namun perang masih berkecamuk di sana. Sejak Oktober lalu, konflik Palestina-Israel meningkat drastis dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi masyarakat.
"Perang tidak boleh berlanjut tanpa batas waktu. Keadilan tidak boleh hilang selamanya. Komitmen terhadap solusi dua negara tidak boleh goyah begitu saja," tegas Xi Jinping.
Xi mengatakan China dengan tegas mendukung pembentukan negara Palestina merdeka yang memiliki kedaulatan penuh berdasarkan perbatasan tahun 1967 dan dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
"China mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB, dan mendukung konferensi perdamaian internasional yang lebih luas, kuat dan efektif," tambah Xi.
Selain itu China juga akan menyumbang tiga juta dolar AS (sekitar Rp48 miliar) kepada Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA) untuk mendukung bantuan kemanusiaan darurat ke Gaza.
Kondisi Gaza saat ini semakin memprihatinkan karena pada Minggu (26/5), Israel menyerang kamp di timur laut Rafah yang menyebabkan lebih dari 40 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, termasuk anak-anak, menurut Dinas Pertahanan Sipil Palestina.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa serangan udara di kamp pengungsi sebagai "insiden tragis" dan menambahkan bahwa penyelidikan sedang dilakukan.
Selanjutnya pada Rabu (29/5), tentara Israel mengklaim telah memperoleh kendali penuh atas Koridor Philadelphia, zona penyangga demiliterisasi yang membentang di sepanjang perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir.
Tentara Israel mengatakan pasukannya berlokasi di sebagian besar Koridor Philadelphia, kecuali wilayah kecil di dekat pantai dan Tel al-Sultan di Rafah barat sehingga menutup bantuan kemanusiaan.
Padahal Mahkamah Internasional pada Jumat (24/5) telah memerintahkan Israel menghentikan operasi militer di Rafah dan memastikan akses tanpa hambatan ke wilayah tersebut untuk misi yang menyelidiki tuduhan genosida, serta untuk bantuan kemanusiaan.
Akibat serangan Israel ke Rafah tersebut, sejumlah negara antara lain Australia, Selandia Baru, Brasil, Meksiko, Belanda dan Venezuela mengecam tindakan angkatan bersenjata Israel (IDF).
Sedangkan Gedung Putih pada Senin (27/5) mendesak Israel agar mengambil langkah antisipasi yang memungkinkan untuk melindungi warga sipil menyusul serangan udara mematikan di Rafah.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengutuk serangan Israel terhadap kamp pengungsi di kota Rafah. Ia menambahkan bahwa sudah tidak ada tempat yang aman di Gaza, dan meminta diakhirinya kengerian tersebut. Serangan itu terjadi di dekat pangkalan logistik badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) di Tal al-Sultan.
Israel telah membunuh lebih dari 36.000 warga Palestina di Jalur Gaza sejak serangan yang diluncurkan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan Israel juga telah menghancurkan sebagian besar wilayah kantong yang dihuni 2,3 juta orang dan menyebabkan sebagian besar warga sipil kehilangan tempat tinggal dan berisiko kelaparan.