REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Febrianto Adi Saputro, Antara
Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mouhamad Bigwanto mengatakan, campur tangan industri tembakau terasa kuat dalam proses penyusunan regulasi pengendalian tembakau. Di mana, ada dua aturan yang dia soroti, yakni Undang-Undang (UU) Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
“Kami merangkum, setidaknya ada tiga taktik yang dilakukan industri dalam proses penyusunan regulasi,” jelas Bigwanto dalam media briefing bertajuk “Menguak Campur Tangan Industri Rokok dalam Melemahkan UU dan RPP Kesehatan di Indonesia” RUKKI dan Lentera Anak di Jakarta, Jumat (31/5/24).
Dia menerangkan, taktik pertama adalah memenuhi media masa dengan informasi yang tidak relevan dan manipulatif. Selanjutnya, menggunakan berbagai pihak untuk menggiring opini publik. Kemudian taktik ketiga, yakni serta mencampuri proses pembuatan kebijakan melalui seminar, konferensi pers, focus group discussion (FGD), audiensi, dan mengirim surat kepada pemerintah.
Taktik disinformasi, menurut Bigwanto, banyak ditemukan selama proses pembuatan UU Kesehatan. Setidaknya, ditemukan empat disinformasi. Misalnya informasi soal tembakau memiliki nilai ekonomi dan nilai sosial sehingga tidak boleh disamakan dengan narkotika dan psikotropika yang jelas merugikan pemakai dan negara. Menurut dia, informasi itu keliru karena tembakau juga punya efek negatif terhadap pemakainya.
Disinformasi lainnya, kata Bigwanto, yakni RUU Kesehatan akan berdampak buruk pada petani tembakau serta mengganggu kesejahteraan dan kelangsungan hidup jutaan pekerja di seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau Indonesia. Ada pula disinformasi mengenai perumusan RUU Kesehatan yang tidak melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait.
“Disinformasi yang sangat jelas misalnya ketika disampaikan, produk tembakau tidak merugikan negara. Sementara sudah jelas produk tembakau itu merugikan negara, lewat biaya kesehatan akibat konsumsi tembakau, yang lebih besar dari pendapatan cukai. Meskipun tembakau legal, tapi produknya tidak normal, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi,” jelas Bigwanto.
Taktik kedua, kata Bigwanto, adalah menggunakan berbagai kelompok, termasuk komunitas yang diinisiasi oleh industri, untuk menyuarakan narasi yang membela industri tembakau. Kelompok yang dilibatkan bahkan termasuk sejumlah anggota legislatif dari sejumlah fraksi, organisasi masyarakat keagamaan, lembaga penelitian, akademisi, dan orang dalam di pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
“Sedangkan taktik ketiga yang dipakai adalah mengadakan sebanyak mungkin kegiatan media, baik berupa diskusi media, FGD, konferensi pers, webinar, seminar, diskusi publik, hingga menerbitkan siaran pers,” kata dia.
Dampak dari penggunaan sejumlah taktik intervensi itu dia lihat cukup memengaruhi rumusan UU Kesehatan yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Misalnya, persoalan perlindungan anak dan dampak kesehatan produk tembakau tidak menjadi prioritas, karena hampir semua kepentingan pihak industri diakomodir.
“Salah satu kepentingan pihak industri yang terbukti diakomodir dalam UU Kesehatan adalah tidak adanya aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, yang sejatinya bisa melindungi anak dari target pemasaran industri rokok,” kata Bigwanto.
Bigwanto menyatakan, keberhasilan industri tembakau dalam mempengaruhi proses penyusunan RUU Kesehatan kembali dilanjutkan dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Bahkan terindikasi, pihak-pihak yang dilibatkan untuk menyebarkan disinformasi serta dukungan penuh terhadap kepentingan industri tembakau semakin banyak.
“Dari hasil pemantauan kami, jumlah pihak yang dilibatkan untuk menyuarakan kepentingan industri tembakau dalam proses penyusunan RPP lebih banyak dan lebih kencang,” tegas Bigwanto.
Menurut dia, narasi yang digunakan dalam proses penyusunan UU Kesehatan kembali disuarakan, khususnya desakan agar pengaturan zat adiktif dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Bahkan, kata dia, ada pihak yang menyuarakan agar regulasi dikembalikan pada PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Dia menambahkan, industri rokok dan kelompok pendukungnya terkonfirmasi tidak hanya berupaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang RPP Kesehatan melalui pemanfaatan media massa, tetapi juga konsisten menyuarakan suara-suara penolakan terhadap substansi yang tengah dibahas.
“Kelompok organisasi itu, di antaranya asosiasi industri tembakau, asosiasi pengusaha, pedagang pasar, pedagang ritel, kelompok petani dan buruh, komunitas, lembaga mahasiswa, dan asosiasi industri media dan periklanan,” kata dia.
Bahkan, kata dia, narasi penolakan terhadap sejumlah isu substantif dalam RPP Kesehatan juga disuarakan oleh sejumlah perwakilan kementerian, di mana terdapat tujuh perwakilan kementerian, yakni Kemenperin, Kemenaker, Kemenkeu yang diwakili Direktorat Jenderal Bea Cukai/DJBC, Kemenkumham, Kemenparekraf, Kementerian Pertanian, dan Kemenko Perekonomian.
Menurut Bigwanto hal ini sangat miris ketika kepentingan swasta justru mengalahkan kepentingan masyarakat, khususnya anak. “Kekuatan lobi swasta di Indonesia telah menjadikan perlindungan anak terpinggirkan. Kondisi ini sangat menyedihkan,” tegas Bigwanto.