Jumat 31 May 2024 18:25 WIB

MUI Keluarkan Fatwa Haram Salam Lintas Agama, Respons Kemenag Singgung Hadis dan Toleransi

Lewat Ijtima Ulama Komisi Fatwa, MUI mengharamkan salam berdimensi doa agama lain.

Red: Andri Saubani
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam.
Foto: republika
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji Eka P, Antara

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa ke-VIII pada 2024 di Islamic Center Sungailiat, Bangka. Pada penutupan ijtima, Kamis (30/5/2024), Ketua Steering Committee (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, KH Asrorun Ni'am Sholeh mengumumkan fatwa haram ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam.

Baca Juga

Ni'am menjelaskan, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Karena dalam Islam, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah. 

"Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukan dengan ucapan salam dari agama lain," kata Kiai Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII, Kamis.

Oleh karena itu, Niam menegaskan, pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan moderasi beragama yang dibenarkan. 

"Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamualaikum atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi," ujar Ni'am.

Ni'am yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, dalam prinsip hubungan antarumat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. 

Hal itu juga harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Alquran "lakum dinukum wa liyadin" yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme). 

"Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta'awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai," kata Ni'am yang juga Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat. 

Meski begitu, Ni'am menegaskan, umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan atau merendahkan agama lain (al-istihza'). Antarumat beragama tidak boleh mencampuri atau mencampuradukkan ajaran agama lain.

photo
Tanda Orang Riya dan Bodoh Beragama - (Republika.co.id)

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

  • Sangat tertarik
  • Cukup tertarik
  • Kurang tertarik
  • Tidak tertarik
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement