Sabtu 01 Jun 2024 16:37 WIB

Merespon Penggunaan Spyware, FISIP UI Gelar Seminar

Adanya Seminar ini, bisa memahami isu spyware dari berbagai perspektif

Spyware (ilustras)
Foto: PxHere
Spyware (ilustras)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK----Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (DHI FISIP UI) mengadakan seminar bertajuk "Mencari Titik Tengah Demokrasi: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil". 

Seminar yang diadakan di Auditorium Ilmu Komunikasi FISIP UI ini menggandeng sejumlah pembicara terkemuka yang memang ahli di bidangnya. Diharapkan, dapat memberikan pandangan mendalam mengenai topik yang sedang dibahas. Seminar, dimoderatori Broto Wardoyo, dosen di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI ini berjalan dengan asyik dan insightful. 

Baca Juga

Menurut Broto, penyelenggaraan seminar ini dilakukan salah satunya adalah untuk merespons laporan Amnesty International terkait penggunaan spyware. Laporan tersebut menyoroti pembelian dan penggunaan alat sadap (spyware) oleh pemerintah Indonesia. Adanya Seminar ini, agar bisa memahami isu spyware dari berbagai perspektif dan bidang yang berbeda menjadi penting untuk mendapatkan pemahaman yang seimbang. 

Broto mengatakan, isu ini menjadi sangat penting untuk diangkat dan dibuat regulasinya secara lebih jelas dan lugas. Karena, ketika negara mulai mengadopsi sistem keamanan yang sangat ketat, termasuk mengendalikan, memantau, dan membatasi setiap pergerakan masyarakat di ruang digital, sering kali muncul kekhawatiran bahwa hak-hak sipil dapat terancam. 

"Contoh dari ketidakseimbangan antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil yang paling banyak terjadi saat ini adalah kebebasan bersuara di ruang digital," ujar Broto dalam keterangan Resminya. 

Sering kali, kata dia, UU ITE disalahgunakan untuk menuntut masyarakat sipil yang melakukan kritik terhadap hal-hal yang dianggap salah atau menyimpang. Dengan peraturan yang pada awalnya diperuntukan untuk menjaga keamanan di ruang digital, akhirnya malah banyak membawa jurnalis, aktivis, dan warga biasa ke jeratan hukum karena postingan di media sosial yang dianggap "meresahkan" atau "menghina" pihak-pihak tertentu. 

Oleh karena itu, kata dia, untuk menghindari kesewenang-wenangan peraturan, pengambilan keputusan, dan relasi kuasa, keseimbangan antara menjaga keamanan nasional dan menghormati hak-hak sipil harus diatur dalam regulasi yang lebih kuat dan jelas. Dengan regulasi yang kuat, kesadaran institusi, dan peran aktif masyarakat sipil, keseimbangan tersebut dapat kita wujudkan.

Seminar ini hadir Sulistyo, Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pembangunan Manusia BSSN RI Brigjen Pol I Made Astawa, Wakil Kepala Densus 88 AT Polri Herik Kurniawan, Pemimpin Redaksi GTV dan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). 

Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq peneliti di The Habibie Center, A J Simon Runturambi Ketua Program Studi Kajian Ketahanan Nasional SKSG UI. Serta Ali Abdullah Wibisono, dosen Keamanan Internasional, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Masing-masing pakar menjelaskan pentingnya isu keamanan nasional dan kebebasan sipil dari berbagai sudut pandang, pengalaman, dan bidang profesional yang telah mereka geluti. 

Sementara itu, Brigjen Pol I Made Astawa memaparkan bahwa kewenangan penyadapan sudah dilakukan dengan proses perizinan yang ketat, mematuhi kode etik, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, disoroti pula oleh A J Simon Runturambi bahwa regulasi terkait sistem keamanan siber di Indonesia memunculkan potensi penyalahgunaan yang dapat melanggar kebebasan sipil. Oleh sebab itu, regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat harus menjadi dasar dalam setiap operasi intelijen. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement