Ahad 02 Jun 2024 10:30 WIB

Ikatan Wartawan Hukum Tolak Revisi UU Penyiaran

Revisi UU Penyiaran dianggap akan mengancam kebebasan pers.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Puluhan wartawan dari berbagai organisasi menggelar aksi menolak revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (28/5/2024). RUU tersebut dinilai memberangus kebebasan pers, membatasi ruang gerak media dan mengurangi keberagaman dalam penyampaian informasi kepada publik.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Puluhan wartawan dari berbagai organisasi menggelar aksi menolak revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (28/5/2024). RUU tersebut dinilai memberangus kebebasan pers, membatasi ruang gerak media dan mengurangi keberagaman dalam penyampaian informasi kepada publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) secara tegas menolak draf Rancangan Undang-undang Penyiaran atau RUU Penyiaran. Iwakum menyatakan draf revisi UU Nomor 32 Tahun tentang Penyiaran atau UU Penyiaran tersebut mengancam kebebasan pers. 

"Ikatan Wartawan Hukum menolak Draf RUU Penyiaran dengan banyaknya substansi yang bermasalah tersebut," kata Sekjen Iwakum Irfan Kamil dalam konferensi pers pernyataan sikap Iwakum di Jakarta, Sabtu (1/6/2024). 

Baca Juga

Kamil menyatakan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah menjadi pedoman penyelesaian perkara sengketa pers melalui Dewan Pers. Namun, UU Penyiaran membuat sengketa pers bisa dibawa ke pengadilan. 

Berdasarkan draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024, jurnalis Kompas.com ini menyatakan, terdapat setidaknya empat pasal yang menjadi sorotan Iwakum. Keempat pasal itu, yakni Pasal 50B ayat (2) huruf C mengenai larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, Pasal 50B ayat (2) huruf K tentang larangan penayangan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.

Kemudian, Pasal 8A ayat (1) huruf Q yang menjadikan KPI menjadi superpower karena berwenang menyelesaikan sengketa pers dan mengambil alih tugas Dewan Pers, dan Pasal 51E yang mengatur sengketa akibat dikeluarkannya keputusan KPI diselesaikan melalui pengadilan.

Kamil menekankan, draf RUU Penyiaran menjadi rangkaian dari dugaan adanya upaya besar untuk melakukan pelemahan terhadap pengontrol kekuasaan. Hal ini terlihat dari kondisi demokrasi yang menurun, legislatif yang semakin lemah dan yudikatif yang juga telah dipreteli. Iwakum, lanjut Kamil, menolak dengan tegas pelemahan terhadap kerja-kerja jurnalistik. 

"Iwakum meminta pemerintah dan DPR untuk mendengar aspirasi dari insan pers," ucap Kamil. 

Diketahui, kemunculan draf RUU Penyiaran beberapa waktu terakhir di media massa dan sosial menciptakan suatu dialektika. Berbagai elemen telah menyuarakan penolakan sejumlah ketentuan yang tercantum dalam draf RUU inisiatif DPR tersebut, serta mengkritik pembahasan yang cenderung tertutup dan tergesa-gesa oleh DPR.

Gabungan organisasi pers, pekerja kreatif, dan pers mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/5/2024), untuk menolak ketentuan-ketentuan yang termuat dalam draf RUU Penyiaran. Aksi tersebut melengkapi apa yang sudah lebih dulu dilakukan di daerah-daerah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement