Senin 03 Jun 2024 07:38 WIB

Belajar dari Sengkarut Taperum, Tapera ala Orde Baru

Taperum diwarnai sejumlah persoalan sejak dijalankan.

Red: Fitriyan Zamzami
Presiden Soeharto meresmikan Museum Monumen PETA di Bogor (18/12/1995). Soeharto mengeluarkan kebijakan Taperum pada 1993.
Foto: dokrep
Presiden Soeharto meresmikan Museum Monumen PETA di Bogor (18/12/1995). Soeharto mengeluarkan kebijakan Taperum pada 1993.

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rencana pemerintah mengutip sekian persen gaji pegawai swasta dan pegawai negeri melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memunculkan polemik di masyarakat. Kebijakan ini sedianya sempat dijalankan juga oleh rezim Orde Baru. Sejumlah persoalan sempat juga mewarnai kebijakan tersebut.

Baca Juga

Dulu, Presiden Soeharto menitahkan kebijakan dengan nama Tabungan Perumahan (Taperum) hanya untuk pegawai negeri sipil saja. Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil.

Kala itu, iuran yang dibayarkan PNS bersifat tetap. Yakni Rp 3.000 untuk Golongan I, Rp 5.000 untuk Golongan II, Rp 7.000 untuk Golongan III, dan Rp 10.000 bagi Golongan IV.

Dengan iuran itu, PNS mendapat Bantuan Uang Muka (BUM) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan besaran merentang dari Rp 1,2 juta hingga Rp 1,8 juta tergantung golongan. Selain itu, PNS juga dapat memanfaatkan tambahan bantuan dana uang muka sebesar Rp 13,2 juta hingga Rp 13,8 juta tergantung golongan dengan bunga 6 persen annuitas. Bantuan Uang Muka dan Tambahan Bantuan dana uang muka itu harus diambil secara bersamaan dalam satu paket yang tidak terpisahkan pada saat pengajuan KPR.

Sejak awal, skema itu sudah memunculkan persoalan. Pada 1994, merujuk catatan Republika, peliknya masalah penyediaan lahan membuat realisasi program Taperum tersendat-sendat. Hal ini tercermin dari masih kecilnya penyaluran uang muka Taperum bagi pegawai negeri sipil (PNS). Dari Rp 200 miliar yang terkumpul, baru Rp 700 juta atau sekitar 0,45 persen yang bisa direalisasikan untuk bantuan uang muka rumah PNS.

Ini terjadi karena para developer baik yang beroperasi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, maupun di daerah lainnya tidak sanggup menyediakan perumahan karena sulit memperoleh lahan. Tingginya permintaan terhadap rumah sangat sederhana (RSS) tidak sesuai dengan tingkat penyediaan oleh developer.

Kala itu, tak semua dana Taperum yang berhasil terkumpul tidak semua dikelola kantor Menteri Perumahan Rakyat (Menpera). Dari jumlah Rp 200 miliar yang terkumpul, hanya 60 persen atau sekitar Rp 120 miliar dikelola Menpera yang akan disalurkan untuk uang muka perumahan PNS. Sedangkan sisanya, 40 persen (Rp 80 miliar) dikelola Departemen Keuangan yang disimpan dalam bentuk deposito atau jenis investasi lain guna pemupukan dana jangka panjang perumahan.

Selain karena sulitnya mendapatkan lahan perumahan, para developer saat itu juga enggan menyediakan rumah bertipe kecil. Hal ini karena margin keuntungan yang diperoleh relatif rendah.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (republikaonline)

Permohonan dana uang muka juga jadi persoalan karena harus dilakukan di kantor Menpera di Jakarta. Setiap harinya, puluhan PNS golongan rendah yang berharap bisa memperoleh dana KPR atau dana untuk membangun rumah di atas tanah sendiri, datang dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Madura dengan menumpang bus umum. Sampai di depan petugas Taperum, berkas PNS ditolak karena belum lengkap.

Seorang PNS asal Purwakarta yang ditemui Republika pada 1995 mengaku sudah 14 kali bolak-balik ke Jakarta. Dia dipercaya 23 rekan-rekannya untuk mengurus Taperum secara kolektif. ''Baru sepuluh yang sudah selesai, 13 lainnya, termasuk saya sendiri belum keluar. Padahal semua syaratnya sudah lengkap,'' ujarnya.

Terkait itu, mulai 1 Juni 1995, prosedur pengurusan Taperum PNS didesentralisasi. Para PNS dari berbagai pelosok daerah tidak perlu lagi mendatangi kantor Menpera di Jakarta untuk memperoleh bantuan uang muka KPR ataupun bantuan biaya pembangunan rumah di atas tanah sendiri.

Polemik penyelewangan dana Taperum... baca di halaman selanjutnya

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

  • Sangat tertarik
  • Cukup tertarik
  • Kurang tertarik
  • Tidak tertarik
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement