REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Arab Saudi menargetkan peningkatan kapasitas energi baru dan terbarukan (EBT) hingga tiga kali lipat pada 2030 dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Dalam memenuhi targetnya itu, Arab Saudi bakal memaksimalkan potensi tenaga angin.
“Wilayah paling berangin di Arab Saudi adalah wilayah timur laut dan barat laut. Karena wilayah ini paling banyak memiliki sumber daya angin, proyek-proyek pembangkit listrik tenaga angin kemungkinan akan berlokasi di sana,” kata Amro el-Shurafa, Direktur Utilitas dan Energi Terbarukan di King Abdullah Petroleum Studies and Research Centre di Riyadh, dilansir Energy Intelligence, akhir pekan lalu.
Arab Saudi telah menghasilkan tenaga angin sejak tahun 2022 ketika mereka menghubungkan pembangkit listrik tenaga angin Dumat al Jandal berkapasitas 400 MW, yang dioperasikan oleh Masdar dan EDF Renewables dari UEA, ke jaringan listrik. Saudi juga merencanakan 1,6 GW tenaga angin darat, bersama dengan 2,2 GW tenaga surya di proyek Neom Green Hydrogen yang sedang dibangun.
Belum lama ini, Arab Saudi diketahui telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) untuk dua proyek angin darat dengan total kapasitas 1,1 gigawatt dengan Marubeni, sebuah perusahaan asal Jepang.
Saudi juga memiliki beberapa rencana untuk mendiversifikasi bauran energinya. Salah satunya, ingin membuat pembangkit listriknya berbasis 50 persen energi terbarukan dan 50 persen gas alam pada tahun 2030. Saat ini bauran energinya masih didominasi bahan bakar cair seperti minyak mentah dan solar.
Untuk mencapai target itu, Arab Saudi akan meningkatkan target kapasitas energi terbarukan yang awalnya ditetapkan sebesar 59 GW, menjadi 130 GW pada tahun 2030.