Senin 03 Jun 2024 09:45 WIB

All Eyes On Papua: Gerakan Solidaritas Selamatkan Hutan Adat di Bumi Cenderawasih

Hutan adat ini juga menjadi habitat bagi flora dan fauna endemik Papua

Masyarakat adat Papua Barat melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka, di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Masyarakat adat Papua Barat melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka, di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jagad media sosial dalam beberapa hari terakhir diramaikan dengan unggahan poster bertuliskan "All Eyes on Papua".  Poster ini ramai diunggah warganet sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat adat Papua, khususnya suku Awyu dan Moi yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka.

Hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat, terancam hilang akibat pembukaan lahan perkebunan sawit di Bumi Cenderawasih.

Baca Juga

Kampanye "All Eyes on Papua" pun semakin menjadi sorotan publik dan mendapatkan momentum setelah para pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Moi melakukan aksi protes di Mahkamah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024).

Berdasarkan keterangan resmi dari Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang dipublikasikan di laman resmi Greenpeace Indonesia, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah daerah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.

photo
Poster kampanye All Eyes on Papua - (Instagram )

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. 

Namun gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun. 

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu. 

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT SAS yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Hutan sumber penghidupan...lanjutkan membaca>>

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement