MOSKOW -- Dubes RI untuk Rusia, Jose Antonio Morato Tavares membenarkan, kontrak pembelian Sukhoi Su-35 antara Indonesia dan Rusia belum batal. "Memang benar, pada suatu saat, Rusia dan Indonesia menandatangani perjanjian ini. Indonesia tidak pernah menghentikannya, namun ditunda untuk menghindari potensi ketidaknyamanan tertentu," ujarnya seperti dilaporkan Eurasian Times dikutip Senin (3/6/2024)
Tavares menyatakan, niat Indonesia untuk menilai kembali situasi ketika kondisi sudah lebih akomodatif. Dia pun menyoroti bahwa sekitar 30 persen persenjataan angkatan bersenjata Indonesia terdiri dari peralatan buatan Rusia.
Namun, pernyataan Tavares berbeda dengan pernyataan pejabat militer Indonesia sebelumnya. Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Fadjar Prasetyo sebelumnya telah menyatakan pembatalan perjanjian pembelian Sukhoi generasi 4,5 tersebut/ Alasannya, karena proses akuisisi yang berkepanjangan dan kekhawatiran atas potensi sanksi AS.
"Soal Sukhoi Su-35, dengan berat hati ya, rencana itu kami batalkan. Kita tidak bisa terus membicarakannya," ucap Fadjar.
Kesepakatan pembelian Sukhoi Su-35 pertama kali diumumkan Indonesia pada Agustus 2017. Hal itu mengharuskan Indonesia membeli 11 unit Su-35 dari Rusia seharga 1,14 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18,5 triliun. Kesepakatannya, Moskow diwajibkan menerima 50 persen dari nilai kontrak komoditas lokal dari Indonesia, di samping persyaratan offset sebesar 35 persen. Dapat dipahami bahwa Indonesia pada akhirnya menginginkan pembelian hingga 16 unit Su-35.
Implementasi kontrak menghadapi banyak penundaan. Pada 2019, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Mohamad Wahid Supriyadi, mengaitkan penundaan tersebut dengan rumitnya skema perdagangan yang melibatkan lembaga pemerintah dan perusahaan. Namun, kesepakatan tersebut pada akhirnya gagal terwujud karena keterbatasan anggaran yang diperburuk oleh pandemi Covid-19 dan kekhawatiran seputar potensi sanksi AS.
Pemberlakuan Countering America’s Adversaries Through Sanctions (CAATSA) oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada 2017 semakin menambah kekhawatiran Indonesia. Undang-undang tersebut menargetkan negara yang melakukan transaksi signifikan dengan negara yang dianggap musuh oleh AS, termasuk Rusia. Sehingga, jika Indonesia memaksa membeli persenjataan dari Moskow bisa terancam sanksi.
Pencarian Indonesia akan jet tempur canggih ditandai dengan liku-liku, dengan perubahan aliansi, rencana pengadaan, dan hambatan keuangan yang menentukan strategi akuisisi pertahanan negara. Setelah membatalkan rencana pengadaan jet tempur Rusia karena kerumitan akuisisi dan potensi sanksi AS, Indonesia mulai mencari alternatif.
Pada tahun 2020, Indonesia menyatakan minatnya terhadap armada Eurofighter Typhoon Austria. Namun kesepakatan tersebut gagal terwujud. Upaya selanjutnya untuk memperoleh F-35 digagalkan oleh kekhawatiran pihak berwenang AS atas kesiapan Indonesia untuk memiliki pesawat generasi kelima.
Pada akhirnya, Indonesia memilih jet tempur kombinasi produksi Prancis dan Amerika. Dalam keputusan penting pada bulan Februari 2022, Indonesia mengumumkan pengadaan 42 jet tempur Rafale, yang menjadikan negara tersebut menjadi pengguna kedua di Asia setelah India.
Namun, aspirasi negara ini tidak hanya mencakup Rafale. Pada bulan Agustus 2023, Indonesia mengumumkan rencana untuk membeli jet tempur F-15 Eagle dari pabrikan Boeing, yang menandakan diversifikasi kemampuan angkatan udaranya. Jet yang akan diberi nama F-15IDN tersebut meniru varian F-15EX yang canggih, sehingga menjanjikan peningkatan kemampuan operasional.
Selain pesawat tempur kelas berat AS yang canggih, Indonesia juga berupaya untuk memperkuat angkatan udaranya dengan pesawat Prancis yang lebih tua dan sudah terbukti dalam pertempuran, termasuk Mirage 2000-5. Awal tahun ini, Indonesia mengumumkan pembatalan kontrak hibah Mirage 2000-5 dari Angkatan Udara Qatar Emiri. Jakarta mengatakan, "Rencana pembelian jet tempur Mirage 2000-5 untuk sementara ditunda karena keterbatasan fiskal di Indonesia."
Indonesia juga bermitra dengan Korea Selatan (Korsel) untuk mengembangkan pesawat tempur supersonik generasi berikutnya, KF-21. Namun tantangan finansial menjadi hambatan besar dalam memenuhi komitmen Indonesia terhadap proyek ini. Indonesia kesulitan memenuhi tenggat waktu pembayaran meskipun setuju untuk mendanai 20 persen biaya pengembangan sebagai imbalan atas transfer teknologi dan model prototipe.
Dilaporkan bahwa Indonesia telah berupaya untuk merundingkan kembali persyaratan pembagian biaya dengan Korsel, dengan mengusulkan pengurangan komitmen keuangan sebesar 600 miliar won atau sekitar Rp 7,07 triliun, turun dari jumlah awal sebesar 1,6 triliun won atau sekitar Rp 23,59 triliun. Langkah itu menggarisbawahi upaya Indonesia untuk menyeimbangkan ambisi modernisasi pertahanan dengan kendala fiskal.