REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan meteorologi PBB (WMO) mengatakan pada tahun ini pola cuaca El Nino yang menyebabkan bencana alam seperti kebakaran hutan dan siklus tropis diperkirakan kembali ke kondisi La Nina yang lebih dingin. Peluang terjadinya La Nina pada kuartal ketiga tahun ini diperkirakan mencapai lebih dari 50 persen.
El Nino terjadi secara alami karena memanasnya permukaan air laut di timur dan tengah Pasifik. Sementara karakteristik La Nina adalah mendinginnya samudra di kawasan ekuatorial Pasifik. Keduanya berhubungan dengan banjir dan kekeringan.
WMO mengatakan terdapat peluang sekitar 60 persen kondisi La Nina akan terjadi antara bulan Juli sampai September. Sementara, peluang terjadinya La Nina pada Agustus dan November mencapai 70 persen.
"Pada akhir El Nino, tidak berarti perubahan iklim jangka panjang akan terhenti karena planet kita akan terus memanas akibat terperangkapnya panas gas rumah kaca," kata Deputi Sekretaris Jenderal WMO Ko Barrett, Senin (3/6/2024).
"Panas permukaan laut tinggi yang tidak biasa akan terus memainkan peran penting selama beberapa bulan ke depan," tambahnya.
Berdasarkan WMO, suhu udara bumi sembilan tahun terakhir terpanas dalam catatan sejarah, walaupun sempat mendingin akibat dampak La Nina pada 2020 sampai 2023.
Seperi La Nino, La Nina, yang dalam bahasa Spanyol berarti "gadis kecil", mengganggu pola cuaca biasa di seluruh dunia. Fenomena ini membawa perubahan dalam curah hujan, suhu, dan bahkan kehidupan laut. La Nina muncul akibat variasi suhu Perairan Pasifik. Angin yang biasanya bertiup dari timur ke barat, mendorong air permukaan yang hangat di Pasifik tengah dan timur menuju Asia.
Selama peristiwa La Nina, angin akan semakin kencang. Ini mendorong lebih banyak air permukaan yang hangat ke barat, menyebabkan air yang lebih dingin dari laut dalam naik di dekat pantai Amerika Selatan. Air yang lebih dingin di lepas pantai Amerika Selatan mengubah pola sirkulasi atmosfer. Ini memiliki efek domino pada kondisi cuaca di seluruh dunia.
La Nina dapat memengaruhi aktivitas badai, berpotensi menyebabkan badai yang lebih kuat. Ini juga dapat mengganggu ekosistem laut, dengan perairan yang lebih dingin memengaruhi populasi ikan.
Baru-baru ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) memprediksi transisi dari El Nino ke La Nina sekitar Juni 2024. Pergeseran ini mungkin tidak membawa perubahan signifikan dalam curah hujan dibandingkan dengan El Nino.
Peristiwa La Nina terbilang kompleks dan dapat bervariasi dalam intensitas dan durasi. Namun, semua pihak harus tetap waspada tentang potensi dampak La Nina dan menyiapkan langkah antisipasi atas dampaknya terhadap pertanian, sumber daya air, dan ekosistem.