REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan radikalisme di Indonesia dan Bangladesh melalui tindakan tegas oleh badan antiteror sama pentingnya dengan program deradikalisasi. Oleh karena itu kedua negara menangani secara serius masalah radikalisme ini mulai dari perundangan, lembaga yang menanganinya sampai dengan integrasi bekas pelaku tindak terorisme kedalam masyarakat. Hal itu disebabkan, radikalisme dari bentuk yang sederhana sampai tingkat yang paling keras sama-sama memberikan ancaman bagi keberlangsungan bangsa baik di Indonesia maupun Bangladesh.
Demikian salah satu perspektif yang muncul dalam seminar internasional Radicalism in Indonesia and Bangladesh: Sources, Actors, and Impact yang berlangsung secara virtual hari Senin (3/6/2024). Hadir dalam seminar secara virtual Prof. Ali Ashraf dari University of Dhaka, Bangladesh, Kandidat Doktor Debbie Affianty dari Program Studi Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Hilali Basya Ph.D dari Program Master Studi Islam, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta. Acara ini dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Dr. Evi Satispi.
Prof Ali Ashraf yang berbicra dari Dhaka dalam seminar ini menjelaskan, sumber gerakan ekstremisme di Bangladesh berasal dari kelompok kiri, pemberontak etno-nasionalis dan kelompok berbasiskan agama. Sedangkan usia mereka yang terlibat dalam gerakan radikal berusia antara 20 sampai 30 tahun, sebagian besar pria (85 persen) dan berpendidikan mulai perguruan tinggi dan atau madrasah yang top sampai dengan sekolah biasa. Sedangkan dari sisi tingkat ekonomi, jelas Ali Ahsraf, berasal dari latar belakang kelompok low dan middle-income.
Menurut Prof Ali Ahsraf yang lulusan Doktor di Amerika Serikat ini, program deradikalisasi sama pentingnya dalam penanganan kelompok radikal melalui badan antiteror. Jika pendekatan antiteror dengan kekuatan keras atau bersenjata maka deradikalisasi dimasukan kedalam pendekatan lunak (soft). Tindakan tegas biasanya dilakukan dengan tentara dan polisi seperti di Bangladesh bahkan di Dhaka memiliki kesatuan sendiri. Namun demikian pendekatan melalui pendidikan dan pelatihan menjadi program penting dalam deradikalisasi mereka yang terlibat kelompok ekstrem.
Ditegaskan pula bahwa kepemimpinan dalam penegakan hukum menjadi kunci keberhasilan dalam deradikalisasi. Selain itu keterlibatan berbagai pihak menjadi kunci dalam keberhasilan program deradikalisasi seperti pengalaman di Bangladesh. Pendekatan multi lembaga ini melibatkan lembaga pendidikan, masyarakat sipil, pekerja sosial, psikolof, hukum dan bahkan politik.
Program deradikalisasi Indonesia
Sementara itu kandidat Doktor Debbie Affianty menyatakan bahaya kelompok radikal yang ekstrem ini telah terbukti dalam berbagai kegiatan terorisme di Indonesia. Bahkan dalam aksi terorismenya seperti terekam dari data pemerintah melibatkan perempuan dan anak anak. Seperti di Bangladesh tindakan terhadap kegiatan terorisme ini ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Namun demikian untuk program deradikalisasi, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, pemerintah Indonesia telah menerapkan empat tahap, yaitu identifikasi dan asesmen, rehabilitasi, pendidikan ulang, dan reintegrasi sosial. Deradikalisasi di dalam Lapas/Rutan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nasionalisme, religiusitas, dan kewirausahaan. Hingga tahun 2022, terdapat 1.192 mantan narapidana teroris yang telah mengikuti program deradikalisasi di Indonesia.
Setelah dibebaskan, para mantan tahanan teroris sering menghadapi beberapa tantangan seperti stigma dari masyarakat serta masalah ekonomi, psikososial, dan administratif (memiliki KTP baru, dll). Hal-hal tersebut terkadang menyebabkan para mantan tahanan teroris terlibat kembali dengan kelompok-kelompok ekstremis. Hingga saat ini, dari 1.036 mantan tahanan teroris, sekitar 116 orang terlibat dalam residivisme.
Contoh pemuda Betawi
Sementara itu Dosen Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Hilali Basya PhD memberikan contoh kelompok radikal tetapi tidak sampai ekstrem di Jakarta melalui risetnya Komunitas Muda Betawi yang terlibat dalam Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta. Dari hasil risetnya tampak bahwa ketegangan di tingkat politik nasional pada Pemilu 2014 yang membuat masyarakat terpolarisasi telah mendorong para pemuda Betawi ini untuk terlibat dalam organisasi yang menghubungkan mereka dengan kelompok-kelompok Islam yang lebih luas. Dalam hal ini, FPI menjadi pilihan mereka.
Menurut Doktor lulusan University of Leeds, Inggris ini, modal budaya yang mereka miliki lebih mendukung mereka untuk terlibat dengan FPI, organisasi Islam yang mengkampanyekan modernisasi Islam seperti Muhammadiyah atau menyerukan pemurnian seperti gerakan Salafi tidak menarik bagi kaum muda Betawi ini. Melalui keterlibatan ini, mereka tidak hanya terlibat dalam isu-isu nasional, tetapi juga isu-isu lokal yang berhubungan dengan dominasi mereka sebagai kelompok pribumi yang tinggal di daerah perkotaan.
Seminar intenasional yang diselenggarakan kerja sama Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Program Studi Ilmu Politik dan Program Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta serta didukung University of Dhaka, Bangladesh denga kehadiran Prof Ali Ashraf dihadiri di ruang Zoom sampai menyentuh angka 70 orang.