REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di tengah bertambahnya kuota haji tambahan untuk jamaah haji Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag), Kemenag mendorong adanya skema murur sekitar lebih 40 ribu jamaah Indonesia pada saat mabit di Muzdalifah.
Hal ini dilakukan untuk menghindari penumpukan jamaah haji di Muzdalifah akibat berkurangnya ruang jamaah karena adanya pembangunan sarana toilet dalam jumlah banyak di area Muzdalifah serta pemindahan 27.000 jamaah haji yang selama ini mabit di Mina Jadid.
Mayoritas Muslim Indonesia berkeyakinan bahwa mabit di Muzdalifah harus menunggu hingga waktu tengah malam sebelum berangkat menuju Mina. Mabit di Muzdalifah adalah termasuk wajib haji. Jamaah haji yang tidak mabit di Muzdalifah wajib membayar dam, sebagai denda atas kesalahan (dam isaah).
Mabit di Muzdalifah dilakukan dengan cara melakukan kegiatan berdiam diri di Muzdalifah, meskipun hanya sesaat saja dalam kurun waktu setelah pertengahan malam tanggal 10 Dzulhijjah.
Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2024 yang berlangsung di Bangka, 28-31 Mei 2024 memutuskan, hukum jamaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (Murur) selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak di kawasan Muzdalifah, maka sudah sah dan dihitung mabit. Hal tersebut berlaku meski tanpa turun dari kendaraan, dan tidak diwajibkan membayar dam.
Jika murur dilakukan sebelum tengah malam dan/atau berdiam meninggalkan muzdalifah sebelum tengah malam, maka tidak sah dan belum dihitung mabit. Jika hal itu dilakukan, maka wajib membayar dam. Dalam kondisi adanya udzur syar’i, seperti keterlambatan perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah hingga tidak menemui waktu mabit di Muzdalifah, maka ia tidak wajib membayar dam.
Ijtima Ulama juga merekomendasikan agar jamaah haji Indonesia perlu memperhatikan ketentuan manasik haji dalam pelaksanaan ibadah haji agar sesuai dengan ketentuan syariah. Tak hanya itu, Kemenag sebagai penyelenggara ibadah haji wajib menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jamaah haji sesuai dengan ketentuan syariah dengan menjadikan keputusan ini sebagai pedoman.
Jika ada kebijakan bagi sebagian jamaah haji yang harus melaksanakan mabit di Muzdalifah dengan cara murur tanpa turun dari kendaraan, maka Kemenag dan/atau penyelenggara ibadah haji khusus dapat mengaturnya sesuai dengan shif pergerakan jamaah dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina. Hal tersebut, di mana jamaah yang menggunakan sistem murur adalah jamaah haji yang bergerak dari Arafah shift terakhir, dan sekira melintas di Muzdalifah setelah tengah malam.
Ijtima Ulama juga mendorong DPR RI melakukan pengawasan pelaksanaan manasik haji agar sesuai dengan ketentuan syariah dengan memedomani Keputusan ini.
Dalam mengeluarkan keputusan tersebut, Ijtima Ulama mendasarkannya kepada dalil sebagai berikut.
1. QS Al-Baqarah ayat 196
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyem- belihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyem- belih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemu- kan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarg- anya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya
2. Hadis Rasulullah
“Dari Ibn ‘Abbas, bahwasanya Nabi saw. bersabda: barang siapa yang lupa melaksanakan salah satu kewajiban (Manasik) haji atau meninggalkannya, maka hendaknya ia mengalirkan darah (denda Damm).” (HR. Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, dan Malik dalam al-Muwaththa’).
"Dari Ibn ‘Umar ra. ia berkata: al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muthallib ra. meminta izin kepada Rasulullah saw. Untuk bermalam di Mekkah pada malam-malam Mabit di Mina karena tugas memberi minum jamah haji, kemudian Rasulullah saw. mengizinkannya” (HR. Al- Bukhari)
3. Pendapat ulama
“Mabit di Muzdalifah pada malam hari penyembelihan kurban dan meninggalkannya sebelum terbitnya matahari hukumnya sunah menurut mazhab imam Abu Hanifah. Menurut mereka, yang wajib hanya Wuquf di Muzdalifah setelah fajar berdasarkan sunnah yang diriwayatkan dari Jabir seperti sebelumnya. Mazhab imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa Mabit hukumnya wajib. Mazhab imam Malik berpendapat bahwa Mabit hukumnya wajib sebatas menetap. Mazhab imam Syafi’i berpendapat bahwa Mabit hukumnya wajib, tetapi cukup sesaat saja setelah pertengahan malam.
Mabit di Mina pada malam-malam hari Tasyriq hukumnya sunnah menurut mazhab imam Abu Hanifah, sedangkan wajib bagi orang yang tidak memiliki udzur menurut mazhab imam lainnya berdasar- kan apa yang Nabi saw. lakukan sebagaimana yang diriwayatkan imam Abu Daud.”
(Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh [Beirut: Dar al- Fikr, t.t.], Juz. 3, hal. 2272-2273).