Selasa 04 Jun 2024 07:23 WIB

Serba-Serbi Badal Haji

Badal haji berarti menggantikan haji orang lain yang sedang uzur atau sudah wafat.

Jamaah haji menyentuh dinding Kabah yang terbuka pada Kamis (23/5/2024). Kain Kiswah telah diangkat agar tidak tersentuh tangan-tangan jamaah.
Foto: Republika/Muhyiddin
Jamaah haji menyentuh dinding Kabah yang terbuka pada Kamis (23/5/2024). Kain Kiswah telah diangkat agar tidak tersentuh tangan-tangan jamaah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah haji adalah dambaan setiap hamba Allah. Namun, berbagai kondisi bisa menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci, Makkah al-Mukarramah.

Seseorang yang memiliki uzur untuk berangkat haji kadang menunjuk seseorang untuk berangkat haji menggantikan dirinya. Hal ini kerap disebut dengan badal haji. Niat dan ibadah hajinya diperuntukkan bagi seseorang yang batal berangkat dan mengamanahkannya kepada orang lain.

Baca Juga

Badal haji telah menjadi perbincangan di kalangan ahli fikih. Ada yang berpendapat, haji tidak bisa dibadalkan. Sebab, menurut perspektif ini, tiap insan akan dihisab karena amal perbuatannya sendiri, bukan orang lain.

Namun, ada juga perspektif lain yang membolehkan badal haji. Sebab, ada dalil (nash) khusus dalam hadis yang mengizinkan seseorang menghajikan orang lain.

Bagi yang berpendapat bahwa badal haji tidak sah, pegangannya adalah tafsir atas beberapa ayat Alquran. Di antaranya adalah surah al-Baqarah ayat ke-286. Artinya, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya."

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "(Yaitu) bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasannya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya" (QS an-Najm: 38-39).

Adapun bagi yang membolehkan badal haji, mengambil dalil dari beberapa hadis sahih. Di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dahulu, ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tetapi belum sempat pergi hingga wafat. Apakah saya harus berhaji untuknya?"

Rasulullah SAW menjawab, "Ya, pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya utang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah utang kepada Allah karena utang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan" (HR Bukhari).

Dalam hadis lain, seorang wanita dari Khas'am berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung unta."

Nabi SAW bersabda kepada wanita itu, "Hajikanlah dia (si ayah wanita)" (HR Muslim).

Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menjelaskan, ada ulama yang berpendapat jika hadis-hadis soal badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Alquran soal amalan seseorang. Pendapat ini didukung ulama dari kalangan Hanafiyah. Maka, kelompok atau mazhab ini berpendapat, hukum dalam hadis-hadis tersebut tidak bisa berlaku.

Sementara, ulama lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis ahad mempunyai kekuatan qath'i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat Alquran.

Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama-ulama Mutakallimin, khususnya fukaha Syafi'iyah, yang mengatakan bahwa hadis ahad, apalagi hadis mutawatir, dapat men-takhsis atau mengecualikan ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu, menurut mereka, anak atau bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement