Selasa 04 Jun 2024 10:56 WIB

Secukupnya Saja Mencintai Harta

Bila harta diperoleh dari jalan haram, seharusnya kita bersedih hati.

Harta (ilustrasi)
Foto: dok wiki
Harta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam bahasa Arab, harta (mal) memiliki akar kata yang sama dengan muyul, yang berarti 'kecenderungan.' Hal itu tak mengherankan. Sebab, tabiat manusia pada umumnya condong pada harta benda.

Allah SWT pun menegaskan fakta tersebut. "Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik" (QS Ali Imran: 14).

Baca Juga

Kita tidak perlu heran jika orang-orang akan mendekat kepada mereka yang memiliki kekayaan melimpah. Adapun kelompok yang tak punya sepeser harta akan cenderung dijauhi atau dikucilkan.

Kita mungkin menangis saat kehilangan harta. Sebaliknya, kita akan melonjak riang begitu memperoleh harta.

Padahal, kita semestinya menelisik sebab-sebab kegembiraan kala mendapatkan harta. Kita juga harus memeriksa kesedihan kita saat berpisah dengan harta.

Apakah kegembiraan kala memperoleh harta disebabkan hanya pada jumlahnya yang bertambah? Ataukah kita bahagia karena memang memperoleh harta tersebut melalui jalan yang halal?

Jika menyadari bahwa harta yang diperoleh berasal dari jalan yang tidak benar, dan masih saja bergembira, kita semestinya bertanya pada diri sendiri: kegembiraan ini untuk apa?

Yang seharusnya adalah kita bersedih hati. Sebab, bertambahnya harta itu akibat diperoleh dari jalan yang Allah murkai.

Jika kita melonjak senang saat mendapat jutaan harta karena korupsi, misalnya,maka sifat kecenderungan terhadap harta itu sudah bergeser. Berubah menjadi kecondongan pada hal-hal yang haram.

Begitu pula saat kita kehilangan harta. Jika berkurangnya harta karena kewajiban-kewajiban sebagai seorang Muslim, seperti membayar zakat atau melunasi utang, seharusnya kita bersyukur. Begitu pula jika berkurangnya harta itu lantaran amalan-amalan sunah, semisal sedekah, infak, atau wakaf. Sejatinya, yang habis dibelanjakan di jalan Allah tidaklah benar-benar habis.

Justru harta tersebut masih utuh dan abadi. Sebabnya, harta yang dibelanjakan di jalan Allah akan menjadi saksi yang memperingan kita di akhirat kelak.

Sebaliknya, harta yang kita tahan-tahan untuk bersedekah dan berbuat kebajikan lainnya itulah yang sesungguhnya ludes. Sebab, kekayaan itu tidak akan menjadi pemberat amal saat pengadilan Allah digelar di Hari Akhir.

Pernah suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada ummul mukminin 'Aisyah tentang seekor kambing yang disembelih, "Apakah ada yang tersisa darinya?"

'Aisyah menjawab, "Tidak ada yang tersisa kecuali bagian bahunya."

Rasulullah SAW bersabda, "Tersisa seluruhnya kecuali bagian bahunya" (HR Muslim).

Maknanya, bagian yang disedekahkan justru adalah yang masih utuh. Adapun yang masih tersisa di rumah itu bakal dihabiskan dan tak bersisa lagi.

Harta bukanlah tujuan, melainkan sarana. Jika kita mencintainya, maka gunakanlah ia sebagai alat berbuat kebaikan.

Harta di tangan orang baik, maka peruntukannya akan mendatangkan manfaat yang amat besar. Saad bin Abi Waqash pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, kaya, dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah Ta'ala" (HR Muslim).

Dalam Islam, tidak ada larangan untuk menjadi orang kaya. Namun, jadilah kaya dengan jalan yang halal. Lantas, pergunakanlah kekayaan itu untuk kebaikan, bukannya maksiat.

Semakin kaya, maka semakin besar kewajiban mengeluarkan zakat. Artinya, semakin banyak orang yang bisa terbantu dengan perantaraan harta si Muslim yang kaya.

Di dunia ini, kita sejatinya hanyalah pengembara. Mengumpulkan bekal yang secukupnya untuk menempuh perjalanan pulang ke kampung akhirat.

Abdullah bin Umar pernah berkisah soal ini. Suatu ketika, Rasulullah SAW memegang pundaknya, lalu berkata, "Di dunia ini, jadilah seperti orang asing atau yang tengah lewat di jalanan."

Ibnu Umar menerangkan maksud Rasulullah SAW, "Jika memasuki malam, maka jangan menunggu datangnya pagi. Jika masuk pagi, jangan menunggu datangnya malam. Carilah bekal di masa sehatmu untuk masa sakitmu, di masa hidupmu (untuk bekal) matimu" (HR Bukhari).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement