REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah merespons kebijakan pemerintah Arab Saudi yang meminta agar sebanyak 40 ribu jamaah haji Indonesia melakukan skema murur saat melintasi Muzdalifah. Yang dimaksud dengan murur adalah skema yang dengannya jamaah haji hanya melewati area Muzdalifah, tanpa turun dari kendaraan. Mereka bisa langsung bertolak dari Arafah ke Muzdalifah, untuk selanjutnya langsung menuju Mina. Dengan demikian, tidak seperti lazimnya prosesi rukun haji bahwa jamaah harus bermalam sejenak (mabit) di Muzdalifah.
Menurut Ketua Bidang Tabligh, Dakwah Komunitas, Kepesantrenan, dan Pembinaan Haji-Umrah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, KH Dr Saad Ibrahim, skema murur boleh dilakukan karena adanya kondisi darurat. Hal itu sejalan dengan salah satu prinsip fikih Islam, yakni adanya keringanan di kala terjadi kesukaran-kesukaran.
"Salah satu prinsip Islam itu ialah menghindarkan terjadinya kesulitan-kesulitan," kata Kiai Saad Ibrahim saat ditemui Republika di Aula KH Ahmad Dahlan, Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Terlebih lagi, lanjut dia, murur "hanya" dilakukan oleh sebagian dari seluruh jamaah haji Indonesia, bukan semuanya. Diketahui, total warga negara Indonesia (WNI) yang bertolak ke Tanah Suci pada musim haji tahun ini mencapai sekitar 240 ribu orang. Artinya, sekira 16 hingga 17 persen saja yang mengikuti skema tersebut.