REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al-Washliyah, KH Masyhuril Khamis mengungkapkan, bukan bidangnya ormas mengelola tambang. Pernyataan tersebut disampaikan Kiai Masyhuril menanggapi keluarnya Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang memungkinkan tambang dikelola ormas keagamaan.
"Tentu di satu sisi ini peluang, tapi kita khawatir peluang itu tidak dapat dioptimalkan sebab tidak semua ormas paham tentang core business ini," ujar Kiai Masyhuril kepada Republika, Selasa (4/6/2024).
Kiai Masyhuril menambahkan, fenomena yang bisa terjadi yakni yang akan mengelola tambang adalah para individu yang mengatasnamakan ormas. Karena itu, dia menilai, tetap saja target pemerintah untuk mensejahterakan ormas masih perlu dipertimbangkan, karena yang berlaku adalah skema bisnis.
Menurut Kiai Masyhuril, hampir semua dasar ormas keagamaan itu bergerak untuk dakwah, pendidikan dan sosial. Selama ini, pemerintah sangat terbantu dengan keberadaan ormas keagamaan, termasuk Al-Washliyah yang lahir pra kemerdekaan Indonesia pada 30 November 1930."Kita (Al-Washliyah) ikut berjuang untuk kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan tetap hidup mandiri, swadaya dan tanpa banyak meminta pada pemerintah, kecuali sebatas meminta haknya," kata Kiai Masyhuril.
Sebelumnya, Presiden Jokowi resmi meneken aturan yang memberi izin bagi ormas keagamaan untuk mengelola lahan tambang di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid itu diteken Jokowi dan diundangkan pada Kamis (30/5/2024). Aturan baru itu menyertakan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Cendekiawan Muslim, Prof Din Syamsuddin juga menanggapi wacana pemerintah memberi izin ormas keagamaan mengelola tambang. Din mengatakan, pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.
Prof Din menjelaskan bahwa dirinya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil. Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara. Silahkan bandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh para pengusaha.
Menurut Din, pemberian tambang secara cuma-cuma kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Menurut pakar, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi, tidak menjamin bahwa perolehan negara atau APBN harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalah gunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP untuk menjadikan wewenang pemberian IUP sebagai sumber korupsi.
"Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi," jelas Din.