REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat intelijen dan keamanan tak habis pikir dengan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang tak memberikan sanksi apapun terhadap anggota Densus 88 yang tertangkap melakukan penguntitan ilegal terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah.
Kepala Badan Intelijen dan Strategis (BAIS) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Purnawirawan Laksamana Muda (Laksda) Soleman Ponto menegaskan, sikap pemimpin Polri tersebut mencederai prinsip-prinsip bernegara secara hukum.
Ponto mengatakan, aksi penguntitan dalam rangka intelijen sebetulnya lumrah dalam spionase aparatur resmi. Akan tetapi, pengintaian itu mengundang dua sisi konsekuensi bagi personel pelaksananya.
Menurut purnawirawan bintang dua Angkatan Laut (AL) itu, jika penguntitan tersebut dilakukan resmi, namun ketahuan dan apalagi tertangkap, maka personel pengintai tetap saja mendapatkan sanksi internal lantaran aksi senyapnya gagal.
Namun begitu dalam kasus Densus 88 terhadap Jampidsus ini, personel pengintai mengaku tak disertai dengan surat tugas resmi yang artinya ilegal. Sudah begitu ketahuan, serta tertangkap pula.
“Jadi, bagaimana dia ini disebut operasi intelijen? Dan Polri tidak memberikan sanksi apapun kepada anggotanya ini, karena penguntitan itu tidak dilakukan resmi tanpa surat perintah resmi. Dan juga itu tidak ada keterkaitannya dengan fungsi dari Densus. Apa itu tidak salah? Kalau tidak ada diberikan sanksi, ini sangat buruk sekali bagi kepolisian kita, karena dengan begitu, perbuatan seperti itu dibiarkan saja,” kata Ponto saat dihubungi Republika, Selasa (4/6/2024).
“Dan jika itu dibiarikan kepolisian kita, maka rusaklah kepolisian kita, dan rusaklah kita sebagai negara hukum,” kata Ponto melanjutkan.