Rabu 05 Jun 2024 05:42 WIB

35 Tahun Lalu, Babak Berdarah di Gerbang Surgawi

Aksi memeringati peristiwa di Tiananmen terus mendapat pembungkaman.

Bendera nasional Tiongkok berkibar di Lapangan Tiananmen.
Foto: AP/Andy Wong
Bendera nasional Tiongkok berkibar di Lapangan Tiananmen.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Senin, 3 Juni 2024, Sanmu Chen, seorang seniman senior Hong Kong berdiri di luar stasiun Causeway Bay. Dikelilingi oleh media, ia tak banyak bicara. Dengan tubuh dan tangannya, ia kemudian membuat gestur menirukan seseorang sedang menuangkan anggur ke tanah, tradisi lokal untuk menghormati mereka  yang meninggal.

Tak lama tangannya seperti menggambar sesuatu di udara. Mereka yang paham membaca tulisan di udara kosong itu “8964”. Tak menunggu lama, petugas polisi langsung tiba dan memindahkannya ke bus kepolisian. Dia dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan tetapi kemudian dibebaskan “tanpa syarat”.

Baca Juga

4 Juni 1989. Lapangan Tiananmen, Beijing, Cina, bersimbah darah. Ratusan mahasiswa dan aktivis dari kelompok prodemokrasi tewas terkena hajaran peluru tajam militer Cina. Sejak itulah benak tiap warga negeri komunis ini dibayangi kenangan berdarah. Namun pemerintah Cina seolah menutup mata menyaksikan tragedi ini. Media resmi pemerintah negeri Tirai Bambu ini tak secuil pun mau menyinggung soal ini.

Disadur dari arsip Harian Republika, segala ketertutupan itu berakhir ketika awal Januari 2001  lalu dokumen pembantaian Tiananmen terkuak. Seorang pejabat yang mengidamkan reformasi politik di Cina berhasil membawa keluar dokumen itu.

Adalah Andrew J Nathan dari Universitas Kolumbia dan Perry Link dari Universitas Princeton yang menerjemahkan seluruh dokumen itu. Setelah berkonsultasi dengan sejumlah peneliti pemerintah dan independen akhirnya yakin dengan keaslian dokumen itu.

Tak ayal dokumen itu mengungkap beragam rahasia yang selama ini ditutup rapat oleh pemerintah Cina. Misalnya, pembicaraan rahasia antara petinggi Cina yang memperdebatkan cara untuk menumpas aksi protes massal yang dipimpin oleh mahasiswa di Lapangan Tiananmen yang terungkap lebar.

Dengan rinci, dokumen itu memaparkan menit-menit pertemuan antara komite dan Politbiro Partai Komunis, laporan agen intelijen dan transkrip rekaman panggilan telepon Deng. Tak ketinggalan pertemuan di kediaman Deng.

Satu hal yang tak terungkap adalah jumlah korban tewas dalam tragedi berdarah itu. Pemerintah Cina hanya memberi angka 218 korban masyarakat sipil. Tapi angka ini dinilai terlalu sedikit.

"Kita tak bisa menemukan titik terang soal ini," ujar Orville Schell, dekan jurusan jurnalistik di Universitas California di Berkeley dan pengarang sejumlah buku tentang Cina. "Hal yang menarik adalah kita bisa menyaksikan proses pengambilan keputusan itu terjadi," ungkap Schell yang sempat menulis pengantar kompilasi dokumen itu yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku berjudul The Tiananmen Papers.

photo
Ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat Cina melakukan aksi unjuk rasa di lapangan Tiananmen Beijing pada 1989. - (Public Domains)

Bagi James R Lilley, mantan dubes AS untuk Cina, menilai hadirnya buku itu tak serta-merta mengubah titik pandang. "Ini seperti Pentagon Papers," kata dosen di Institut Bisnis Amerika ini.

Pentagon Papers adalah dokumen internal pemerintah AS tentang sejarah perang Vietnam. Dokumen rahasia ini sempat jatuh ke tangan pers sekitar awal 1970.

"Setidaknya dengan munculnya dokumen ini, secara tiba-tiba Anda bisa mengetahui apa yang diperbincangkan dan segalanya menjadi serba terbuka," kata Lilley.

Dimulainya babak rahasia... baca halaman selanjutnya

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement