Rabu 05 Jun 2024 07:16 WIB

Tiga Nasihat Ibnu ‘Athaillah untuk Hidup Lebih Tenteram

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu ‘Athaillah menyampaikan nasihat tentang kunci kebahagiaan.

Tiga Nasihat Ibnu Athaillah untuk Hidup Lebih Tenteram
Foto: pexels
Tiga Nasihat Ibnu Athaillah untuk Hidup Lebih Tenteram

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Ahmad bin Muhammad bin Atha’illah as-Sakandari merupakan seorang ulama pakar tasawuf dari abad ke-13. Gelar as-Sakandari merujuk pada kota kelahirannya, Iskandariah di Mesir.

Ibnu ‘Athaillah tergolong alim yang produktif menulis. Tak kurang dari 20 kitab sudah dihasilkannya. Pembahasannya tidak hanya meliputi bidang tasawuf, melainkan juga akidah, ushul fikih, nahwu, tafsir Alquran, dan hadis. Dari beberapa karyanya, Al-Hikam merupakan yang paling masyhur. Di dalamnya, ada beragam nasihat dan perenungan.

Baca Juga

Berpasrah diri

Dalam Al-Hikam, Ibnu ‘Athaillah menerangkan, kepasrahan bukanlah suatu bentuk kemalasan. Dengan bersikap pasrah, seorang Muslim tidak lantas berhenti bekerja dan berdoa dengan dalih semua telah diserahkan kepada Allah SWT. Sebab, setiap insan wajib berikhtiar.

Yang membuat seorang Mukmin istimewa, ia tak sekadar berusaha, tetapi juga meyakini Allah Mahamengatur segalanya. Sambil giat bekerja dan berdoa, orang beriman akan menyandarkan harapan hanya kepada Allah Ta’ala. Sebab, hanya Dia yang layak menjadi tumpuan harapan. Hanya Dia yang mampu memberikan jaminan keselamatan. Melepaskan rasa ketergantungan pada selain-Nya, itulah hakikat pasrah.

Tak ikut mengatur

Ibnu ‘Athaillah menasihati kita agar ridha terhadap pengaturan yang telah digariskan Allah SWT. Untuk menjelaskan makna ridha, ia mengisahkan seorang syekh yang berkata, “Seandainya penduduk surga telah dimasukkan ke surga dan penduduk neraka telah digiring ke neraka, kemudian hanya diriku yang tersisa, aku tak bisa menduga, ke mana aku akan dibawa.”

Menurut Ibnu ‘Athaillah, begitulah keadaan hamba yang tidak punya pilihan dan keinginan kecuali bersandar hanya kepada-Nya. “Keinginan adalah apa yang Dia (Allah) inginkan. Seorang ulama mengatakan hal yang serupa, ‘Pagi ini keinginanku berada dalam ketentuan Allah,’” tutur sang salik.

Ia pun berpesan, jangan ikut mengatur bersama Allah. “Kau mengetahui bahwa dirimu adalah milik Allah. Dengan demikian, kau tidak berhak mengatur apa yang bukan milikmu,” katanya.

Ingat Allah

Menurut Ibnu ‘Athaillah, insan yang arif berbeda dari orang yang lalai. “Saat pagi,” kata sang sufi, “orang yang lalai berpikir tentang dunia dan berusaha mencarinya, ia menghitung-hitung apakah dunianya bertambah atau berkurang. Sedangkan orang yang zuhud dan ahli ibadah, memasuki waktu pagi, akan mengevaluasi bagaimana kondisinya bersama Allah.”

Seorang Mukmin seyogianya selalu mengingat Allah. Janganlah hatinya terlalu silau akan harta duniawi sehingga lalai dari dzikrullah. “Mereka (ahli makrifat) menyadari, Allah yang sebenarnya berkuasa atas diri dan harta mereka. Apa pun yang mereka lakukan bertolak dari Allah, dengan Allah, dan untuk Allah,” ujar dia.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement