REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Lintar Satria Zulfikar
Bom yang meledak di dekat Masjid Nabawi, Madinah, Makkah, menyakitkan bagi seluruh Muslim di dunia. Tidak terkecuali Indonesia.
Bagi rakyat Indonesia, Tanah Suci Makkah dan Madinah bukan hanya sekedar tempat untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Makkah dan Madinah memiliki hubungan yang panjang dengan orang Indonesia. Sejarah itu sudah ada bahkan ketika Indonesia belum terbentuk.
Antropolog Belanda Martin van Bruinessen menulis dalam artikel "Mancari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji" sejak 1860 bahasa Melayu sudah menjadi bahasa kedua di Makkah. C Snouck Hurgronje yang pernah menulis etnografi di Makkah pun menulis bab khusus tentang orang Nusantara di Makkah dalam bukunya "Mekka in the Latter Part of the 19th Century".
Di awal abad ke-19 tepatnya 1920-an, sekitar 40 persen dari seluruh jamaah haji berasal dari Nusantara. Bruinessen melihat pentingnya Makkah dan Madinah untuk orang Nusantara memiliki keterkaitan dengan kosmologi mereka.
Dalam artikel yang terbit dalam Majalah Ulumul Qur’an tersebut Bruinessen mengatakan seperti kebanyakan budaya dan kosmologi masyarakat Asia Tenggara lainnya, orang Jawa percaya adanya pusat kosmis yang menjadi titik temu antara dunia nyata dengan alam gaib.
Dalam artikel yang terbit pada 1990 ini, Bruinessen menjelaskan titik temu tersebut yang menjadi tempat untuk mencari ilmu (ngelmu) dan legitimasi politik (wahyu-istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari ajaran Islam). Setelah Islam masuk Nusantara tentu Makkah dan Madinah menjadi pusat kosmis utama.
Karena Makkah adalah kiblat dari seluruh Muslim di dunia. Pada abad 17-18 banyak orang Nusantara datang ke Makkah untuk mencari ilmu. Tapi sebetulnya keilmuan Islam juga berkembang pesat di kota-kota lain.
Bruinessen mengatakan belum diketahui siapa orang Indonesia yang pertama kali menunaikan ibadah haji. Tapi pada pertengahan abad ke-17 raja-raja Jawa mulai mencari 'wahyu' atau legitimasi politik di Makkah.