Oleh: Selamat Ginting
Wartawan Senior Republika
“Kepada saudara-saudara putra Sasak, disampaikan ucapan terima kasih atas sambutan saudara-saudara. Kepada saudara putra Indonesia suku Ambon, insaflah akan panggilan ibu pertiwi. Kepada bangsa asing, terutama Tionghoa, jangan menghalangi perjuangan suci kami. Ketahuilah pimpinan-pimpinan RI sedang mengadakan perundingan dengan HJ Van Mook pimpinan NICA. Jawa, Madura, Sumatra sudah diserahkan, kecuali Borneo, Selebes, Kepulauan Maluku, Nuiginia, Kepulauan Sunda Kecil sedang dalam penyelesaian. Ketahuilah Banteng Hitam sudah lama bersarang di Pulau Lombok. Tunggu tanggal mainnya.”
Itulah tulisan plakat yang kembali dibuat oleh Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Lombok Timur, pada 1994. Tulisan itulah yang pada awal Juni 1946 membuat NICA marah besar. NICA kepanjangan dari Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration, yang berarti Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.
NICA merupakan organisasi semimiliter yang dibentuk pada 3 April 1944. Bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda, setelah pasukan pendudukan Jepang kalah dalam Perang Dunia II (1939 - 1945).
NICA menghujani plakat ini dengan peluru sambil menantang Laskar Banteng Hitam. Kaki tangan NICA berkeliaran mengawasi rakyat. Rakyat diperalat untuk antipati kepada Banteng Hitam. Kemudian, muncul plakat yang berbunyi: “Hai Banteng Hitam tunjukkan hidungmu! rumah potong hewan sudah sedia! Pisau sudah tajam, akan kami babat kamu menjadi lawar” di salah satu rumah potong hewan di Kopang.
Kemudian oleh pemuda Kopang, Lombok Timur, dibalas dengan tulisan: “Sekali Merdeka! Tetap Merdeka! Hidup Merdeka atau Mati!” Tulisan itu ditulis di tembok Masjid Pengoros, Laskar Pejuang di Lombok Timur. Mereka kemudian menetapkan 2 Juni 1946, sebagai waktu yang tepat menyerang markas tentara NICA di Selong, Lombok Timur.
Namun, penyerangan ini gagal karena NICA memprovokasi rakyat dengan mengatakan bahwa akan ada perampok dari jurusan barat menuju Selong. NICA kemudian memenjarakan sejumlah tokoh, seperti TGH Ahmad, adik dari Maulana Syekh Muhammad Zainuddin, dan Ustaz Dahmurudin yang dituduh memprovokasi perlawanan di madrasah.
NICA juga mengancam menangkap pemimpin-pemimpin pejuang lainnya, termasuk Maulana Syekh Zainuddin. Ia kemudian mengajak pejuang yang ada di bawah barisan Mujahidin, yang dikomandani oleh TGH Faisal. Sebagai murattab (mengatur santri di madrasah) untuk mengambil inisiatif menyerang markas NICA di Selong. Dilakukan untuk mengantisipasi konflik antarorang Lombok yang diprovokasi oleh NICA.
Agama dan Kemerdekaan
Dalam rapat, Maulana Syekh menyampaikan beberapa hal. Pertama, harus melakukan penyerangan lebih awal ke markas NICA, sebelum NICA menangkap para pejuang, khususnya orang-orang yang aktif mengajar di madrasah.
Kedua, perkuat iman dan niat dalam berjuang bahwa perjuangan ini adalah dalam rangka menegakkan agama Allah, dan mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Ketiga, strategi harus betul-betul tepat.
Hal tersebut dikemukakan TGH Nursaid dan H Zainudin, seperti tertulis dalam kumpulan biografi singkat Calon Pahlawan Nasional TGKH M Zainuddin Abdul Madjid, dalam pendidikan, politik, dan transformasi sosial masyarakat Indonesia, 2017.
Diputuskan bahwa pimpinan pejuang rakyat dari Pancor adalah TGH Faisal, yang merupakan adik kandung TGH M Zainuddin Abdul Madjid. Dari keseluruhan pasukannya dalam penyerbuan, hampir semuanya merupakan santri Zainuddin.
Jumat malam, 7 Juni 1946 atau Sabtu dini hari 8 Juni 1946, dengan suara takbir yang bergemuruh “Allahu Akbar“, laskar-laskar pejuang Lombok Timur dengan bersenjatakan keris, golok, kelewang, bambu runcing, dan lain-lain menggempur markas Gajah Merah milik tentara NICA.
Menurut Zainuddin, sekurangnya delapan tentara Belanda tewas dalam penyerangan itu. Sedangkan tiga pejuang Lombok Timur gugur. Sejak peristiwa itu, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Madrasah NWDI dan NBDI di-blacklist sebagai markas gelap yang menentang penjajah.
Beberapa guru NWDI dan NBDI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Beberapa di antaranya yang diungsikan ke daerah-daeran lain. TGH Ahmad Rifa’i Abdul Madjid, adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dipenjarakan di Ambon Maluku. Madrasah NWDI dan NBDI diputuskan untuk ditutup.
Namun, sebelum keputusan itu sempat dilaksanakan, terjadilah peristiwa penyerangan 8 Juni 1946. Penyerbuan tanksi Militer NICA di Selong, dipimpin TGH Muhammad Faishal Abdul Madjid. Faishal gugur dalam pertempuran tersebut.
Dengan terjadinya peristiwa 8 Juni 1946 tersebut, keputusan NICA untuk menutup Madrasah NWDI dan NBDI batal dilaksanakan. Namun, ancaman dan intimidasi semakin gencar dan langsung ditujukan kepada pribadi Zainuddin Abdul Madjid. Di situlah TGKH M Zaiuddin menunjukkan jati dirinya sebagai pejuang.